Dajjal-nya Media Sosial

83

“adu domba dan ujaran kebencian lebih gawat di medsos, mas. Kasus Yai Mim di Malang, misalnya. Cuma ribut soal parkiran, eh jadi bahan olok-olok nasional. Orang Papua ikut komen, orang Sumatra ikut debat. Padahal yang tahu persis tetangganya saja.”

Oleh : Abdurrozaq
Warung Cak Sueb lesu. Para pelanggan sering absen tak seperti biasanya, karena badai leap memang makin ganas. Yang tetap istiqomah hanya Gus Karimun, Mahmud Wicaksono dan rivalnya, Cak Paijo LSM. Wak Takrip dan Cak Manap juga masih datang, tapi tidak awan bengi-isuk sore seperti dulu. Badai laep membuat orang berpikir dua kali untuk nyangkruk di warung kopi.

Sore itu hanya ada lima orang pelanggan. Tentu saja Mahmud Wicaksono. Ia kan nyangkruk sambil menunggui lapak cukur rambutnya. Barangkali ada orang tidak tega, menggunakan jasanya mencukur rambut. Apalagi, kalau di rumah terus ia akan menjadi bulan-bulanan jeragan wedok. Sarjana kok tidak berani nyaleg. Wong yang tidak sarjana saja sampai beli ijazah demi bisa nyaleg. Mahmud Wicaksono sok suci, menganggap gaji pejabat itu syubhat. Jangankan nyaleg, jadi anggota BPD atau Kasun saja ia tidak mau.

Di warung, mumpung ada wifi colongan, hampir seluruh usianya ia habiskan untuk membuka media sosial. Makanya, ia begitu pintar seperti pengamat. Sambil rebahan men-scroll-scroll HP kreditannya, Mahmud Wicaksono mulai berceloteh.

“Kalau tak amati, media sosial itu seperti senjata keadilan. Tanpa itu, orang kecil tidak punya ruang untuk bicara. Lihat kasus David Ozora, coba kalau tidak viral, pelakunya mungkin tidak dihukum serius. Justru karena lambe turah netizen, hukum berjalan,” ujarnya seraya rebahan.

“Media sosial juga sarang pitenah, mas,” serang Cak Paijo LSM. “Medsos itu sering jadi pemantik kegaduhan. Orang gampang marah, gampang menghakimi. Contoh kasus David, iya terbongkar. Tapi korban lain? Banyak yang malah dihina, dibully, keluarganya diserang.”

Cak Manap yang sejak tadi sibuk menghitung recehan untuk bayar kopi, nyeletuk, “Lha wong saya salah komen soal makam dibongkar saja dimaki, apalagi kasus besar.”

“Tapi kan banyak kasus yang ditangani setelah viral? Kasus yang awalnya ditutup-tutupi, bisa terbongkar karena netizen nggruduk”

“Tapi adu domba dan ujaran kebencian lebih gawat di medsos, mas. Kasus Yai Mim di Malang, misalnya. Cuma ribut soal parkiran, eh jadi bahan olok-olok nasional. Orang Papua ikut komen, orang Sumatra ikut debat. Padahal yang tahu persis tetangganya saja.”

“Tapi berkat viral itu, isu lokal jadi perhatian nasional. Yai Mim kan akhirnya dibela netizen?” Kelit Mahmud Wicaksono.

“Contoh lain, demo bubarkan DPR. Itu kan gara-gara gerakan cengkem elek di medsos?” Tambah Mahmud Wicaksono.

“Tapi apa semua yang ikut demo paham isi tuntutannya?” Kelit Cak Paijo LSM. “Banyak yang ikut demo cuma karena melihat poster di Instagram. Demokrasi itu bukan hanya trending, tapi musyawarah. Kalau semua ikut-ikutan, akhirnya ricuh.”

“Setidaknya, medsos adalah pengeras suara rakyat, Cak,” kelit Mahmud Wicaksono.

“Pengeras suara tanpa filter bikin kuping budeg, Mas,” balas Cak Paijo LSM. “Kalau semua orang jadi hakim, kan ngawur?”

“Coba kita jujur,” kata Cak Paijo LSM, seraya menyodorkan rokoknya kepada Mahmud Wicaksono. “Berapa persen isi medsos itu yang menyuarakan keadilan? Mayoritas gosip artis, prank receh, berita hoaks. Atau emak-emak FYP yang membuat konten provokasi demi monetasi. Kalau sampeyan sebut medsos senjata keadilan, saya curiga sampeyan sudah berubah haluan karena sudah direkrut jadi buzzer.”

“Banyak orang salah tuduh, difitnah, dihujat, sampai depresi. Apa itu harga sebuah keadilan?” serang Cak Paijo LSM seraya mensabotase kopi Mahmud Wicaksono .

“Setidaknya rakyat bisa ikut mengawasi. Dulu, rakyat cuma bisa menggerutu di warung kopi. Sekarang bisa teriak di medsos dan didengar,” jawab Mahmud Wicaksono kalem.

Cak Paijo menepuk dahinya. “Sampeyan ini dengaren gendeng, sih, Mas. Kenyataannya, dialog di medsos sering berakhir saling ejek. Orang merasa paling benar. Di dunia nyata mungkin bisa duduk bareng, tapi di dunia maya malah adu screenshot.”

“Ya itu karena kurang literasi digital, jawab Mahmud Wicaksono santai. “Kalau kita mendidik pengguna, medsos bisa jadi ruang musyawarah.”

“Masalahnya, siapa yang mau mendidik?” Gerutu Cak Paijo LSM. “Influencer? Banyak yang justru memanfaatkan kegaduhan untuk cari makan. Lihat saja yang bikin konten ‘prank miskin’ atau ‘bagi-bagi uang’, itu bukan literasi, itu hiburan murahan.”

“Betul, saya lebih sering lihat orang joget daripada orang diskusi di medsos,” celetuk Cak Manap, ngobong-ngobongi.

“Benar kata orang tua kita dulu, nanti dajjal itu akan menguasai dunia. Bisa jadi, dajjal yang majazi itu ya medsos ini” ujar Gus Karimun menengahi.

“Media sosial itu bukan malaikat, bukan juga setan. Ia hanya cermin besar. Kalau yang bercermin wajahnya kusut, ya yang keluar juga kusut. Kalau yang bercermin wajahnya cerah, ya yang keluar cerah. Jadi jangan salahkan cerminnya.”

Kiai muda itu kemudian menyeruput kopi, lalu melanjutkan. “Kuncinya ada tiga. Pertama, literasi digital. Orang harus bisa memilah mana fakta, mana hoaks. Kedua, etika. Komentar harus pakai adab, bukan sekadar komentar emosional. Ketiga, tabayyun. Jangan buru-buru share sebelum jelas beritanya.”

“Kalau medsos dipakai dengan bijak, ia bisa jadi senjata keadilan. Kalau dipakai ngawur, ya jelas jadi pemantik kegaduhan. Jadi pilihan ada di tangan kita. Bukan salah platform, tapi salah penggunanya,” tutup Gus Karimun.

Warung mendadak hening. Lalu Cak Sueb muncul dari dapur, “Ya sudah, kalau sudah damai, bayar dulu. Ini bukan di dunia maya, ini sudah di dunia nyata. Kalau minum kopi ya bayar.”

“Aku utang, sik, cak!” Sergah Mahmud Wicaksono.

“Ini saja, Cak Sueb. Berapa semuanya?” Ujar Gus Karimun seraya mengeluarkan uang seratus ribuan.

“Kembaliannya ambilkan rokok dan gorengan. Biar buat mayoran.” Padahal, Gus Karimun tidak mau nyaleg. Dan takkan pernah nyaleg.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.