KEMBAR78
Saat narasi keliru mengancam, imunisasi anak butuh dukungan nyata

Saat narasi keliru mengancam, imunisasi anak butuh dukungan nyata

Memetakan dampak misinformasi dan disinformasi terhadap imunisasi anak di Manado dan Bitung.

Saat narasi keliru mengancam, imunisasi anak butuh dukungan nyata

Memetakan dampak misinformasi dan disinformasi terhadap imunisasi anak di Manado dan Bitung.

ZONAUTARA.com — Langit sore yang mendung di jalanan Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut) membuat semuanya nampak terburu-buru, kecuali seorang ibu yang sedang istirahat sejenak di halaman luar Masjid Ribaathul Quluub.

Ia nampak menikmati waktu istirahat usai menuntaskan segala rutinitas. Dari peralatan yang dibawanya, tak diragukan lagi ia seorang petugas kebersihan.

Sapu dan pengki tergeletak tak jauh dari ibu bernama Eka yang melepas penat dengan sekadar mengecek perkembangan dunia maya melalui genggamannya itu.

“Saya punya akun Facebook,” katanya ketika ditanya media sosial (medsos) apa yang ia punya dan paling sering digunakan.

Lewat Facebook ia menemukan berbagai macam informasi. Namun sayang, ia tak begitu memperhatikan informasi-informasi yang spesifik, seperti imunisasi anak.




“Saya tidak terlalu memperhatikan informasi seperti itu,” ucap ibu dua anak tersebut kepada Zonautara.com, Rabu (9/7/2025).

Ibu yang memiliki anak berusia tujuh dan empat tahun itu mengaku tak tahu banyak soal informasi imunisasi. Kedua anaknya sempat mengikuti imunisasi namun tidak lengkap.

Hal itu ada kaitannya dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang terjadi kepada kedua buah hatinya.

“Anak pertama hanya sampai di imunisasi campak, anak kedua hanya sampai imunisasi BCG. Karena biasanya jika diimunisasi, anak mengalami demam, jadi orang tua marah,” ucap Eka yang merupakan warga Girian.

Kondisi diperparah ketika Eka harus bekerja sejak dinihari. Ibu berusia 27 tahun tersebut nyaris tak punya waktu mengurusi semua kebutuhan dan keperluan anak, apalagi mengakses informasi dan tempat pelayanan imunisasi.

“Dinihari sudah mulai bekerja, jadi tidak ada waktu membawa anak (imunisasi),” ujarnya.

Kisah Eka di atas hanyalah salah satu potret bagaimana masyarakat masih memiliki keterbatasan informasi dan akses terhadap pelayanan imunisasi.

Pola resistensi pun terbentuk akibat trauma akan kejadian-kejadian sebelumnya, di mana anak mengalami demam setelah diimunisasi.

Hal tersebut sejalan dengan Survei Imunisasi Anak yang dilakukan Global Health Strategies (GHS) yang menunjukkan bahwa keterbatasan informasi dan trauma akan kejadian sebelumnya menjadi dua argumentasi teratas dalam hambatan imunisasi anak di Kota Manado dan Bitung.

imunisasi anak
Sumber: Laporan GHS (Infografis: Tim Data Zonautara.com)

Lebih dari separuh responden tidak tahu dan tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang imunisasi anak, dan lebih dari seperempat responden khawatir tentang pengalaman sebelumnya, di mana anak mengalami demam setelah imunisasi.

Selain itu, faktor ekonomi, jarak dari fasilitas kesehatan, izin dari keluarga dan faktor kepercayaan (agama) juga menjadi faktor penentu seseorang akan membawa anak mereka mendapatkan imunisasi.

Sandungan imunisasi anak di Manado dan Bitung

Adanya misinformasi dan disinformasi mengenai imunisasi yang terlanjur dipercaya masyarakat disinyalir menjadi batu sandungan dalam program imunisasi pemerintah.

Misinformasi merujuk pada informasi keliru yang disebarkan tanpa disengaja. Sedangkan disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja disebarluaskan dengan niat untuk menyesatkan atau memanipulasi orang banyak.

Penyebaran misinformasi dan disinformasi di masyarakat Manado dan Bitung terekam dengan jelas dalam pengalaman petugas di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Manado dan Dinkes Kota Bitung saat melakukan imunisasi anak.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Manado, dr. Sicilia Kumaat mengungkapkan, ada beberapa narasi negatif tentang imunisasi anak yang menyebar dan menguat di masyarakat.

Narasi yang sering dijumpai pihaknya dalam penolakan masyarakat adalah imunisasi dapat menyebabkan autisme atau kelainan perkembangan anak. Meski telah dibantah secara ilmiah, namun narasi tersebut seringkali masih dipercaya.

“Mitos ini telah dibantah oleh banyak penelitian ilmiah, namun masih sering dipercaya. Di Manado, narasi ini kadang muncul di kalangan orang tua muda yang menerima informasi dari media sosial tanpa verifikasi,” ujarnya saat dikonfirmasi Zonautara.com, Selasa (8/7/2025).

Narasi negatif lain yang ikut berkontribusi membentuk pola resistensi masyarakat terhadap imunisasi di Manado adalah imunisasi tidak perlu bagi anak yang sehat.

“Banyak orang tua berpikir jika anak terlihat sehat maka imunisasi tidak dibutuhkan. Padahal, imunisasi bertujuan untuk mencegah penyakit sebelum muncul, bukan untuk mengobati anak yang sakit,” terangnya.

Ia juga sempat menyentil adanya kekhawatiran masyarakat tentang kehalalan vaksin yang digunakan.

Senada, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bitung, dr. Victor Tumbuan mengatakan, di wilayah kerjanya juga terjadi resistensi terhadap program imunisasi akibat adanya keraguan terhadap kehalalan vaksin yang digunakan.

“Masalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin. Kemarin sempat beredar bahwa itu tidak halal. Terbukti di beberapa sekolah besar yang muslim, itu ada yang jumlah anak didiknya seribu lebih, yang datang imunisasi tidak sampai seratus orang,” ungkap Victor.

Narasi keliru lainnya adalah tentang hal yang diduga merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

“Setelah kita turun, ternyata itu bukan KIPI. Kebetulan anaknya yang lagi tidak sehat kemudian diimunisasi. Namun kejadian tersebut sudah (diunggah) ke medsos lebih dulu. Sudah ribuan komentar, lalu kemudian kita klarifikasi,” ujar Victor, saat ditemui pada Rabu (9/7/2025).

Menurut Victor, meski pada akhirnya unggahan tersebut di-takedown namun sudah terlanjur memberi kesan negatif tentang imunisasi kepada masyarakat yang lain.




imunisasi
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bitung, dr. Victor Tumbuan. (Foto: koleksi pribadi)

Narasi keliru selanjutnya adanya anggapan bahwa tidak mengikuti imunisasi tidak akan berdampak apa-apa. Dijelaskan Victor, anggapan tersebut bermula di saat pandemi Covid-19, dimana masyarakat dilarang untuk berkumpul.

“Waktu itu hampir dua tahun masyarakat tidak datang ke fasilitas kesehatan, (karena) memang dilarang,” ucapnya.

Dari situlah menurutnya muncul anggapan tidak apa-apa ketika tidak diimunisasi. Namun sayang, pemahaman keliru itu harus ditebus dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).

“Akhirnya di Bitung muncul KLB, yakni campak yang seharusnya sudah tidak ada. Saat diambil sampel, ditemukan bukti bahwa mereka yang terkena campak adalah mereka yang riwayat imunisasinya tidak ada atau tidak lengkap. Lebih dari 80% begitu riwayatnya,” ungkap Victor.

Tren penggunaan medsos dan pengaruhnya dalam penyebaran mis dan disinformasi

Medsos telah bertransformasi menjadi salah satu jalur utama distribusi informasi. Berdasarkan laporan dari DataReportal, jumlah pengguna medsos di seluruh dunia per Januari 2025 telah mencapai 5,24 miliar orang atau setara dengan 63,9% dari populasi global. Terdapat pertumbuhan sebesar 4,1% dengan tambahan 206 juta pengguna baru dalam setahun terakhir.

Di Indonesia, penggunaan medsos juga sangat signifikan. Pada laporan yang sama, pengguna aktif medsos di Indonesia mencapai 139 juta yang mencakup 49,9% dari total populasi. Persentase ini menunjukkan bagaimana platform digital telah menjadi alat komunikasi dan hiburan utama bagi masyarakat.

Facebook menempati urutan pertama dengan pengguna aktif terbanyak, disusul YouTube, WhatsApp, Instagram, dan TikTok.

Saat narasi keliru mengancam, imunisasi anak butuh dukungan nyata

Survei yang dilakukan GHS di 8 kota dari 4 provinsi termasuk di Kota Manado dan Kota Bitung di Sulut, juga menunjukkan tren konsumsi medsos yang cukup signifikan.

Facebook dan Whatsapp menjadi dua platform medsos teratas yang membantu para responden di Manado dan Bitung membuat keputusan tentang imunisasi anak dalam tiga bulan terakhir. Kemudian disusul oleh YouTube, TikTok, Instagram, X (dulu Twitter), dan Snack Video.

Hasil survei GHS juga menunjukkan, dengan tren penggunaan medsos yang signifikan di Manado dan Bitung, kepercayaan responden terhadap informasi imunisasi anak yang diberikan oleh tenaga kesehatan (nakes) di medsos cukup tinggi. Sebagian besar responden percaya terhadap informasi imunisasi anak yang diberikan oleh nakes lewat medsos.

Namun di sisi lain, hanya sebagian kecil responden di Manado dan Bitung yang mengatakan bahwa informasi negatif di medsos sama sekali tidak membuat mereka ragu untuk membawa anak mereka mengikuti imunisasi. Sementara, Sebagian besarnya mengaku ragu melakukan imunisasi akibat informasi negatif yang beredar di medsos.

Pola tersebut menunjukkan pengaruh besar medsos dalam membentuk opini publik dalam menyikapi sebuah isu. Di mana, responden percaya terhadap informasi yang diberikan nakes lewat medsos namun di sisi lain konten-konten negatif dapat melunturkan kepercayaan tersebut.

imunisasi anak

Jufri Kasumbala selaku penanggung jawab kanal cek fakta Zonautara.com mengungkapkan, secara nasional banyak narasi keliru yang beredar terkait imunisasi, termasuk imunisasi anak.

“Belum lagi soal hoaks yang dibangun dengan narasi propaganda yang menghubungkan antara keuntungan ekonomi dengan situasi politik. Di mana sejumlah vaksin dinarasikan berisi kandungan yang tidak sehat hanya untuk menyerap anggaran negara,” ujar Jufri.

Ia berpandangan narasi-narasi keliru yang beredar di medsos akan menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk mengikuti imunisasi.

“Dampaknya adalah sebagian warga menjadi khawatir untuk membawa anak mereka ke fasilitas kesehatan,” ucapnya menjelaskan.

Di sisi lain, dr. Sicilia Kumaat berpandangan bahwa misinformasi dan disinformasi mengenai imunisasi anak sedikit banyaknya dipengaruhi oleh penyebaran narasi keliru melalui medsos yang umumnya dibagikan oleh orang dekat.

“Masyarakat lebih percaya informasi yang dibagikan oleh keluarga, teman, atau tokoh lokal di media sosial meskipun isinya belum tentu benar,” ujarnya.

Narasi emosional cenderung lebih mudah diterima masyarakat daripada data ilmiah. Hal ini berkaitan erat dengan minimnya literasi digital.

“Konten yang menyentuh perasaan seperti anak saya sakit setelah vaksin, lebih cepat viral dibanding penjelasan dokter yang bersifat teknis,” tutur Sicilia.

Pengaruh narasi keliru tentang imunisasi di medsos tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan Sicilia menyebut, narasi keliru di medsos bisa menjadi penghambat utama keberhasilan program jika tidak direspon secara sistematis.

“Pendekatan komunikasi risiko dan edukasi digital harus menjadi bagian inti dari strategi imunisasi daerah,” ucapnya.

Senada, dr. Victor Tumbuan juga menyampaikan, medsos punya pengaruh kuat dalam penyebaran misinformasi dan disinformasi di Bitung sehingga dibutuhkan counter narasi yang massif untuk melawan narasi keliru tersebut.

Di sisi lain, Dosen Komunikasi Universitas Negeri Manado, Dr. Jackelin Lotulung, M.I.Kom saat ditemui Zonautara.com menyiratkan, bahwa misinformasi dan disinformasi merupakan salah satu variabel yang turut membarengi kemajuan teknologi informasi.

Penyebaran misinformasi dan disinformasi punya dampak besar dalam membentuk persepsi masyarakat dalam menyikapi suatu persoalan, termasuk dalam diskursus imunisasi.

Secara umum ia melihat penyebaran misinformasi dan disinformasi di medsos tak terlepas dari upaya menaikkan engagement atau tingkat interaksi atau keterlibatan pengguna media sosial dengan konten yang diposting, seperti like, komentar, share, dan lain-lain.

“Itu kalau di-like, diikuti, (pembuat konten) dapat cuan,” ujarnya.

Lebih jauh lagi, penyebaran misinformasi dan disinformasi di medsos dapat diduga sebagai upaya mengadu domba negara.

“Karena internet ada hubungan dengan pertahanan keamanan juga,” katanya.

imunisasi
Dosen Komunikasi Universitas Negeri Manado, Dr. Jackelin Lotulung, M.I.Kom. (Foto: koleksi pribadi)

Capaian imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpapar penyakit maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.

Imunisasi berfungsi mencegah beberapa penyakit serius yang dikategorikan sebagai Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I). Kemenkes menyebut, imunisasi dapat mencegah kematian 2 hingga 3 juta anak setiap tahunnya di Indonesia.

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, di antaranya hepatitis Btuberculosis, diare rotavirus, japanese ensefalitis, pneumonia, diphteria, pertussis, tetanus, polio, measles rubella, dan cervical cancer.

“Secara nasional sudah ada 14 jenis imunisasi yang mampu menangkal setidaknya 12 penyakit,” ujar Direktur Imuniasi Kemenkes, dr. Prima Yosephine saat memberikan materi pada pelatihan jurnalis bertajuk Meningkatkan Kesadaran Publik tentang Imunisasi yang digelar AJI Indonesia di Jakarta pada medio Juni 2025.

Data dari Kemenkes juga menunjukkan capaian imunisasi 13 Provinsi di Indonesia berada di bawah 100 persen dalam tiga tahun terakhir.

Hal tersebut berdampak pada meningkatnya angka anak dengan dosis nol (zero dose children). Pada tahun 2022 ada sebanyak 297 ribu anak dosis nol, tahun 2023 sebanyak 372 ribu anak, dan pada 2024 ada sebanyak 980 ribu anak yang dosis nol.

Dalam laporan yang sama juga terlihat, salah satu provinsi yang mengalami penurunan capaian imunisasi dalam tiga tahun terakhir adalah Sulawesi Utara. Capaian imunisasi di Sulut pada tahun 2022 adalah sebesar 98,2 persen, tahun 2023 sebesar 94,3 persen, dan pada tahun 2024 menurun ke angka 68,2 persen.

Penurunan capaian imunisasi tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah anak yang belum lengkap atau belum menerima imunisasi (DPT, HB, Hib) dalam empat tahun terakhir. Jumlah zero dose children di Sulut, yakni 6.342 anak pada tahun 2021, sebanyak 2.509 anak pada tahun 2022, dan ada 2.401 anak pada tahun 2023, serta 13.336 anak pada tahun 2024.

imunisasi
Infografis: Tim Data Zonautara.com

Sementara, data dari Dinkes Kota Manado menunjukkan adanya penurunan capaian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) antara tahun 2023 dan 2024. Tahun 2023 berada pada angka 92,2% dan tahun 2024 hanya mencapai 79,6%. Sedangkan per Januari hingga April 2025, capaian Imunisasi Baduta Lengkap (IBL) berada pada angka 21,3%.

Data yang sama juga menunjukkan jumlah anak yang menerima IDL dan IBL, yakni pada tahun 2023, IDL sebanyak 5.806 anak dan IBL sebanyak 3.801 anak. Tahun 2024, IDL sebanyak 5.338 anak dan IBL sebanyak 3.722 anak. Dan, Januari hingga Juni tahun 2025, IDL 2.658 anak dan IBL sebanyak 2.040 anak.

Sedangkan di Bitung meski tidak menyebutkan angka detail, Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dinkes Bitung, dr. Victor Tumbuan mengakui jika imunisasi anak di wilayah tersebut tidak mencapai target yang telah ditetapkan.

“Kota Bitung tidak capai sasaran untuk imunisasi, kita di bawah 70%,” tuturnya saat ditemui Zonautara.com.

imunisasi
Infografis: Tim Data Zonautara.com

Strategi melawan narasi negatif

Melihat potensinya yang dominan dalam membentuk persepsi masyarakat, medsos dapat dijadikan sebagai salah satu variabel penting dalam mengkampanyekan imunisasi anak di Manado dan Bitung sehingga tak ada lagi penolakan dari masyarakat.

Hal ini dapat dilihat sebagai peluang dalam mengkampanyekan serta mensukseskan program imunisasi anak.

Baik Dinkes Kota Manado maupun Dinkes Kota Bitung masing-masing telah melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan masyarakat agar anak mereka diimunisasi. Selain dalam pertemuan tatap muka, sosialisasi tentang imunisasi juga diakui telah dilakukan serta dibagikan melalui akun resmi medsos Dinkes dan Puskesmas yang ada di dua daerah tersebut.

Hal ini dapat dipandang sebagai counter bagi narasi-narasi keliru yang telah menyebar di tengah masyarakat Manado dan Bitung.

Menurut dr. Sicilia Kumaat, salah satu upaya yang dilakukan pihaknya untuk meyakinkan masyarakat agar mau diimunisasi adalah melakukan edukasi lewat media sosial lokal dengan narasi positif.

“Membuat konten lokal, seperti video pendek testimoni orang tua yang berhasil imunisasi anaknya, sangat membantu melawan hoaks di media sosial,” ucapnya.

Hal serupa juga disampaikan dr. Victor Tumbuan yang mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya edukasi melalui medsos. Namun ia juga mengakui bahwa konten-konten tentang imunisasi belum intens diunggah dan dibagikan.

“Iya, (medsos) sangat berpengaruh. Saya coba analisa, sekarang yang kurangnya adalah tidak intens,” tuturnya.

imunisasi

GHS yang berhasil memetakan peluang dan tantangan imunisasi anak di Manado dan Bitung berkesimpulan bahwa sosialisasi imunisasi harus menggunakan bahasa daerah melalui pesan kunci “Torang Imunisasi, Torang Sehat” yang dapat diartikan “Kita Imunisasi, Kita Sehat”.

Penjelasan yang sama juga dikemukakan Dr. Jackelin Lotulung, M.I.Kom. Ia menyebut, dalam prinsip komunikasi, penggunaan bahasa yang dekat dengan komunikan memiliki peran vital. Dengan cara tersebut, kemungkinan sebuah pesan tersampaikan semakin besar.

“Dalam prinsip komunikasi, salah satunya kita menggunakan bahasa sesuai bahasanya komunikan. Jadi kalau kampanye kesehatan di suatu wilayah, usahakan juru kampanyenya orang setempat dan menggunakan bahasa daerah tersebut. Karena ada istilah-istilah tertentu tidak bisa di-translate,” ujarnya.

Tantangan

Survei jajak pendapat yang dilakukan Zonautara.com di Manado dan Bitung pada 21 responden menunjukkan, Facebook dan WhatsApp merupakan medsos yang paling sering digunakan responden, disusul Instagram dan Tiktok.

Di mana, sebanyak lebih dari 70% responden mendapat informasi imunisasi anak dari Facebook. Kemudian diikuti WhatsApp, dan TikTok.

Namun survei yang sama juga menunjukkan rendahnya intensitas responden mendapatkan informasi imunisasi anak. Hanya 23,80% responden yang mengaku sering mendapat informasi imunisasi anak. Selebihnya responden menjawab kadang-kadang, jarang dan bahkan tidak pernah mendapatkan informasi tentang imunisasi anak.

Meski survei tersebut tidak mencerminkan keseluruhan populasi, namun sedikit banyaknya dapat menjadi bahan evaluasi bagi stakeholder terkait untuk melakukan masifikasi informasi tentang imunisasi anak di Manado dan Bitung, dengan membuat dan membagikan informasi imunisasi dengan intensitas tinggi, dan menambah jangkauan medsos stakeholder terkait.

Di sisi lain, penjelasan yang rinci mengenai gejala-gejala yang dialami anak pasca imunisasi pun harus disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat agar kasus seperti Eka yang enggan mengimunisasi anaknya karena alasan demam setelah imunisasi tidak menambah panjang mata rantai misinformasi dan disinformasi di masyarakat.

imunisasi

Sebagaimana penjelasan Kemenkes, imunisasi dapat diberikan kepada semua anak kecuali pada kondisi kontraindikasi medis yang sangat terbatas dan spesifik.

Bahkan juga disebutkan imunisasi tetap dapat diberikan dalam kondisi anak dengan gejala ringan, seperti demam kurang dari 38,5°C, infeksi saluran pernapasan atas (batuk atau pilek ringan), atau gejala infeksi lainnya.

Dalam kasus anak demam setelah diimunisasi, dijelaskan dr. Sicilia Kumaat, secara medis hal tersebut adalah reaksi fisiologis normal dan tidak membahayakan.

“Ini menandakan bahwa sistem kekebalan anak sedang merespon antigen untuk membentuk kekebalan jangka panjang. Edukasi kepada orang tua mengenai hal ini sangat penting untuk mengurangi kekhawatiran dan mencegah penolakan vaksinasi,” tutupnya.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com