Senin malam 1September 2025. halaman DPRD Sulawesi Utara menjadi ruang temu tiga peran berbeda: mahasiswa dengan suara lantangnya, polisi dengan barisan tegaknya, dan jurnalis dengan catatan serta kameranya. Dari luar, pemandangan itu mungkin terlihat seperti konfrontasi. Namun di lapangan, cerita yang terbentuk jauh lebih kompleks daripada sekadar “yang menuntut” dan “yang menjaga.”
Mahasiswa datang dengan idealisme yang masih segar. Mereka percaya bahwa suara harus lantang agar didengar, bahwa aspirasi tidak boleh dibiarkan hilang ditelan sunyi gedung-gedung tinggi. Teriakan mereka keras, bukan untuk membuat gaduh semata, melainkan cara menyampaikan kegelisahan.
Polisi berdiri berlapis, bukan tanpa beban. Di pundak mereka ada mandat untuk menjaga ketertiban, memastikan bahwa aksi tetap terkendali. Tugas itu sering kali membuat mereka harus berhadapan dengan mahasiswa, meski dalam diri mereka ada rasa lelah, ada keluarga di rumah yang menunggu, dan ada keinginan sederhana agar semua bisa berjalan aman.
Jurnalis hadir di tengah keduanya. Tidak bersuara lantang seperti mahasiswa, tidak pula membawa tameng seperti polisi. Yang mereka bawa hanyalah kamera, perekam suara, dan catatan. Tugas mereka jelas: menjadi mata publik, menuturkan apa yang terjadi sejujur mungkin. Namun lapangan tidak memberi pengecualian; mereka juga kena perihnya gas air mata, ikut batuk, ikut terhuyung.
Ketika gas air mata dilepaskan, batas peran itu seketika hilang. Mahasiswa berlari mencari udara, polisi ikut tersengal menahan pedih, jurnalis berusaha tetap memotret meski pandangan kabur. Malam itu, semua sama-sama manusia yang sesak bersama di tengah asap putih.
Dari sini terlihat bahwa ketiganya hadir dengan peran berbeda, tapi tujuan tak sepenuhnya jauh: mahasiswa ingin suara mereka sampai, polisi ingin situasi tetap damai, jurnalis ingin publik tahu apa yang benar-benar terjadi. Dan di balik semua peran itu, ada hal yang menyatukan: sama-sama punya keluarga di rumah yang menunggu kepulangan.
Sulawesi Utara punya falsafah Si Tou Timou Tumou Tou, manusia hidup untuk memanusiakan manusia. Nilai itu bukan hanya warisan budaya, tapi seharusnya jadi napas di setiap peristiwa. Malam di depan DPRD itu menjadi bukti kecil bahwa kemanusiaan tidak hilang, meski di tengah kericuhan. Solidaritas bisa lahir dari odol yang dibagi, dari tawa di sela batuk, dan dari kepedulian yang tidak membedakan siapa yang mahasiswa, siapa polisi, siapa jurnalis.
Malam berasap itu akhirnya meninggalkan satu pesan sederhana: demokrasi memang berisik, kadang perih, tapi selalu bisa dijaga bila masing-masing peran dijalankan dengan hati. Karena pada akhirnya, yang diinginkan semua orang sama: pulang dengan selamat, bertemu keluarga, dan hidup di tanah yang tetap damai.
#TetapDamaiSulawesiUtara