ZONAUTARA.com – Rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan E10, pencampuran 10% etanol ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin dalam 2-3 tahun ke depan menghadapi tantangan serius.
Meskipun bertujuan mengurangi impor migas dan menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, ambisi ini terbentur oleh dua isu utama, yakni kapasitas produksi etanol yang sangat minim dan risiko deforestasi akibat kebutuhan lahan pertanian baru.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebut kebijakan E10 yang disetujui Presiden ini bertujuan “agar tidak kita impor banyak dan untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan.”
Kebijakan ini mengikuti jejak berbagai negara lain, di mana Amerika Serikat menjadi yang terdepan dalam volume konsumsi etanol untuk bahan bakar/campuran BBM, diikuti oleh Brasil.

Etanol: solusi emisi lebih rendah dan kesenjangan produksi
Secara lingkungan, penggunaan etanol memang menawarkan keunggulan. Berbagai studi menunjukkan bahwa emisi siklus hidup etanol lebih rendah dari bensin. Data per 2022 menunjukkan siklus produksi-distribusi-konsumsi etanol (berbasis tanaman jagung) menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 53,3 gram CO2e/megajoule, jauh lebih rendah dibandingkan bensin yang mencapai 98,5 gram CO2e/megajoule. Penggunaan BBM campur etanol juga diklaim dapat mengurangi polusi udara.
Namun, tantangan terbesar terletak pada ketersediaan etanol di dalam negeri. Kapasitas produksi Indonesia saat ini masih jauh dari kebutuhan program E10.
Anggota Komisi XII DPR, Ratna Juwita Sari, mengungkapkan bahwa realisasi produksi etanol nasional pada 2024 hanya sekitar 161.000 kiloliter (kl). Padahal, jika program E10 diberlakukan penuh, perkiraan kebutuhan etanol indonesia akan melonjak hingga 890.000 kl per tahun.
“Kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan etanol ini harus dipenuhi dengan meningkatkan produksi lokal, bukan dengan membeli etanol dari luar negeri,” tegas Ratna, menekankan bahwa kebijakan energi hijau harus memperkuat kapasitas nasional, bukan meningkatkan ketergantungan impor.

Ancaman deforestasi mengintai
Untuk menutup jurang kebutuhan ini, pemerintah harus meningkatkan produksi etanol secara masif. Etanol di Indonesia umumnya diproduksi dari bahan baku pertanian seperti tebu, jagung, atau sorgum. Kenaikan produksi ini otomatis menuntut pembukaan lahan pertanian baru dalam skala besar.
Inilah yang memicu kekhawatiran konflik dengan komitmen lingkungan pemerintah, khususnya janji untuk mengurangi deforestasi.
Indonesia telah mencatatkan komitmennya dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) kepada UNFCCC, dengan target ambisius untuk menurunkan laju deforestasi periode 2021-2030.
- Dalam skenario normal (business as usual), laju deforestasi diproyeksikan 820.000 hektare/tahun.
- Dengan target usaha sendiri, pemerintah menargetkan penurunan deforestasi hingga 359.000 hektare/tahun.
- Target terendah, dengan bantuan internasional, adalah 175.000 hektare/tahun.
Rencana membuka lahan baru untuk tebu, jagung, atau sorgum dinilai Walhi akan merusak ekosistem dan merampas wilayah milik masyarakat.

“Sebenarnya dia (etanol) juga kotor karena dia merusak ekosistem,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian.
Isu deforestasi ini sangat krusial, mengingat dampaknya yang luas mulai dari kepunahan flora/fauna, kerusakan sistem air, hingga peningkatan risiko bencana longsor dan banjir, sekaligus memicu pemanasan global. Selain berjanji mengurangi deforestasi, pemerintah juga berkomitmen merestorasi 2 juta hektare lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta hektare lahan kritis pada 2030.
Komitmen untuk lingkungan di satu sisi, dan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan produksi etanol di sisi lain, menempatkan Indonesia pada sebuah dilema energi-lingkungan yang kompleks. Kebijakan E10 harus melalui perhitungan yang cermat untuk memastikan implementasinya tidak mengorbankan hutan dan ekosistem demi target bahan bakar yang lebih bersih.


