Belakangan ini, publik ramai membicarakan fenomena wakil menteri (Wamen) yang juga menjabat sebagai Komisaris di BUMN. Nah, terkait isu ini, pihak Istana akhirnya memberikan penjelasan.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa pemerintah tidak melanggar aturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, larangan bagi wamen untuk merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN tidak tercantum dalam amar putusan MK.

"Sejauh ini, pemerintah tidak melanggar amar putusan MK. Jika kita merujuk pada putusan MK, tidak ada yang dilanggar oleh pemerintah," ungkap Hasan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (23/7). 

Dia juga menekankan pentingnya masyarakat untuk membaca amar putusan MK yang berkaitan dengan menteri yang merangkap jabatan. "Coba teman-teman baca lagi amar putusan MK. Jadi, yang dipegang tentu amar putusan MK, jadi sejauh ini pemerintah tidak menyalahi putusan MK," jelasnya.

Hasan menambahkan bahwa fenomena wamen yang juga menjabat sebagai Komisaris BUMN bukanlah hal baru. Dia menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan hanya berlaku untuk menteri atau kepala badan pemerintah.

"Yang tidak boleh itu hanya anggota kabinet selevel menteri atau kepala badan. Sebelumnya, ada juga wamen yang menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN. Ini sudah berjalan juga," tuturnya.

Uji Materi

 

Sebelumnya, Juhaidy Rizaldy Roringkon mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi. Ia meminta agar wamen dilarang merangkap jabatan. Juhaidy merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena pasal tersebut hanya mengatur larangan rangkap jabatan bagi menteri, sementara wamen tidak diatur larangan serupa.

"Dengan tidak adanya larangan dalam UU Kementerian Negara, pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN akan tertutup karena akan bersaing dengan para wakil menteri yang telah dekat dengan kekuasaan," katanya dalam berkas permohonan.

Adapun Pasal 23 UU Kementerian Negara berbunyi: "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."

Dalam permohonannya, Juhaidy mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan bahwa wakil menteri seharusnya dilarang merangkap jabatan, seperti halnya menteri.

Pertimbangan Hukum Putusan

Dalam pertimbangan hukum putusan nomor 80, Mahkamah menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden, sama seperti pengangkatan dan pemberhentian menteri.

Oleh karena itu, menurut MK, wakil menteri harus diperlakukan sama seperti menteri, sehingga seluruh larangan rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara juga berlaku bagi wakil menteri. Namun, MK memutuskan permohonan nomor 80 tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

Juhaidy berpendapat bahwa norma tersebut seharusnya diatur dalam undang-undang agar mengikat bagi semua pihak. Oleh karena itu, dia meminta MK untuk menambahkan frasa "wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.

Dengan demikian, dia memohon agar pasal tersebut diubah menjadi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."