Dingin membelai kulitku, subuh itu kali pertama aku ke Jakarta tanpa doa ibu.
Meski pergi pada penerbangan pertama, bandara terlampau sesak kala itu. Ada perasaan yang bergejolak, mungkin karena kali ini arahnya semakin mendekati mimpiku.
Kupikir semua orang merasakan pendewasaan awal 20. Bertumbuh, beralih, menajamkan jati diri. Hari itu aku pergi untuk belajar lagi, sesuatu yang kurang disukai keluargaku.
Aku memang sering bepergian, apalagi ke Jakarta. Lucunya, kota ini terlalu riuh untuk dicintai, tapi ganjil untuk dibenci, karena kesempatan berputar tidak hanya di Bundaran HI.
Setibanya di Jakarta, kakiku melengos ke Taman Ismail Marzuki.
Hal lucu lainnya, seumur-umur ke Jakarta, belum pernah kaki ini menapak tempat ini.
Alasannya remeh, pernah lara menambatkan nyamannya pada seni, harapnya bahagia bermuara di Debur Ombak. Seperti biasa, barang itu hil yang mustahal.
Takjub, bukan karena raksasanya gedung Institut Kesenian Jakarta yang membuatku merasa kecil, tapi karena aku berhasil memeluk mimpi-mimpi yang pupus.
Ini konyol. Semua sudut yang aku jangkau, kubekukan dalam bentuk portrait. Sengaja!. Biar sekali ini egois, aku hanya ingin menyimpannya bagiku sendiri.
“Thank you, I cherished every steps here”
Kalimat itu bekerja seperti mantra, kurapalkan dalam-dalam.
Sore itu, terik. Angin tidak malu-malu menghiburku. Hampir dua jam aku berkeliling, pipiku basah. Bukan karena terik tapi karena Eliza kecil akhirnya bisa bebas berdansa di alun-alun TIM. Betapa aku terhibur dengan macam-macam mural, bahkan kupikir Promenade dan pak Ismail ikut tertawa melihatku.
Dari semua karib yang membersamaiku tumbuh, menyenangkan rasanya menemui mereka hanya untuk sekedar life update, mengingat dari semua lingkaran yang aku rawat dari dulu, hanya aku, seorang, yang masih tinggal di Manado.
Usai memberi kesempatan Eliza bermain, aku beranjak ke FX Sudirman.

Ini Jihan. Karib yang kujaga erat dengan doa. Jihan dan aku bersahabat sejak di Forum Anak. Kami jadi jarang bertemu karena Jihan menempuh pendidikan di Yogyakarta. Aku salah satu yang melihatnya tumbuh, dan kuharap sampai dia mekar nanti. Senang aku ada dalam prosesnya.
Benar-benar, tak ada yang tahu kapan kau mencapai tuju, diatas rasa cemburu dan iri, aku bersyukur Jihan termasuk yang menganggap hidup bukanlah perlombaan untuk dikejar.
Sialnya, jam dinding melaju kesetanan dan kami harus pulang.
Besok, Jihan mesti ke kantor dan aku akan memulai perjalananku sebenarnya di Jakarta.
Malam itu, saat rebah, aku persilahkan mimpi-mimpi usang itu kembali ke tempat dimana ia berada.
Walau karam, karenanya aku tumbuh dan belajar.