- Berapa total utang proyek Whoosh?
Total proyek mencapai 7,26 miliar dolar AS, dengan porsi utang sekitar Rp54 triliun dari China Development Bank (CDB). - Apakah proyek ini menggunakan dana APBN?
Sebagian kecil, ya. Pemerintah mengizinkan penggunaan penyertaan modal negara (PMN) untuk menutup porsi ekuitas Indonesia. - Siapa yang menanggung utang Whoosh?
Utang ditanggung oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dipimpin oleh PT KAI melalui PSBI. - Apa penyebab pembengkakan biaya proyek?
Pembengkakan terjadi akibat revisi desain, pembebasan lahan, kenaikan harga material, dan kendala teknis. - Apa langkah pemerintah selanjutnya?
Pemerintah dan Danantara tengah menyiapkan restrukturisasi utang, penyuntikan modal, serta skema aset negara (BLU) untuk menjaga keberlanjutan proyek.
Kronologi Utang Kereta Cepat Whoosh, Rencana Rute Baru?

- Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh menjadi sorotan karena utang yang membengkak.
- Pembangunan dimulai pada 2016 dengan skema pembiayaan tanpa dana APBN, tetapi biaya proyek terus membengkak.
- Utang proyek mencapai lebih dari 2 miliar dolar AS, dan pemerintah tengah melakukan restrukturisasi utang agar lebih berkelanjutan.
Jakarta, FORTUNE - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh, hasil kerja sama Indonesia dan China, kembali menjadi sorotan publik karena nilai utangnya yang terus membengkak. Proyek yang semula dijanjikan tanpa dana APBN ini kini menghadapi tekanan besar akibat beban keuangan yang menumpuk di tubuh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Pembengkakan biaya, persoalan utang, hingga keterlibatan dana negara menjadi isu yang terus bergulir sejak proyek dimulai. Kini, meski sudah beroperasi, kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini masih menyisakan pertanyaan besar mengenai sumber pembayaran utang dan keberlanjutan bisnisnya.
Berikut kronologi utang kereta cepat Whoosh, lengkap mulai dari perjalanan proyek Whoosh dari awal hingga kini.
2015: awal mula proyek dan perebutan pengaruh China–Jepang
Gagasan pembangunan kereta cepat muncul di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat itu, Jepang dan China bersaing ketat untuk mendapatkan proyek strategis ini. Jepang unggul di tahap awal karena lebih dulu melakukan studi kelayakan, namun pemerintah akhirnya memilih China sebagai mitra utama.
Alasan utamanya: China bersedia mendanai proyek tanpa jaminan dari APBN dan tanpa menambah utang pemerintah.
Pada akhir tahun, dibentuklah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dengan kepemilikan 60% oleh PSBI (konsorsium BUMN Indonesia) dan 40% oleh Beijing Yawan HSR Co. Ltd dari China.
2016: Pembangunan dimulai, klaim tanpa dana APBN
Proyek resmi dimulai pada Januari 2016, disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi. Skema pembiayaan ditetapkan dengan komposisi 75% pinjaman dari China Development Bank (CDB) dan 25% dari ekuitas pemegang saham.
Pemerintah menegaskan proyek ini murni business to business (B2B), sehingga tidak akan membebani APBN. Namun sejak awal, sejumlah pihak mengingatkan potensi risiko utang jika target penumpang dan pendapatan tidak tercapai.
2017–2019: Hambatan konstruksi dan pembebasan lahan
Seiring berjalan, proyek ini menghadapi hambatan serius di lapangan, terutama dalam pembebasan lahan. Banyak lahan warga yang belum dibayar tuntas, sementara pekerjaan konstruksi sudah mulai dilakukan.
Akibatnya, proses pembangunan tertunda dari jadwal semula yang ditargetkan selesai pada 2019. Saat itu, biaya proyek masih ditaksir sebesar 6,07 miliar dolar AS. Pembangunan sempat terhambat akibat masalah pembebasan lahan dan perizinan, membuat proyek tertunda dari target awal penyelesaian pada 2019.
2019–2021: Biaya membengkak dan utang menumpuk
Memasuki 2019, proyek kereta cepat mulai menghadapi masalah serius: biaya pembangunan membengkak. Berdasarkan hasil audit internal, nilai proyek naik menjadi 7,2 miliar dolar AS, meningkat lebih dari 1 miliar dolar AS dari rencana awal.
Peningkatan biaya ini terutama disebabkan oleh perubahan desain, harga material, dan masalah teknis di lapangan. Karena dana awal dari pinjaman China Development Bank (CDB) tidak cukup, KCIC harus kembali mengajukan pinjaman tambahan.
Pada saat yang sama, muncul perdebatan publik mengenai siapa yang harus menanggung pembengkakan biaya, apakah pemerintah atau pihak konsorsium BUMN.
2022: Pemerintah akhirnya turun tangan
Melalui Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah resmi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk mendukung proyek kereta cepat. Langkah ini menandai perubahan besar dari janji awal bahwa proyek tidak akan menggunakan uang negara.
Keputusan tersebut menuai kritik karena dianggap membebani anggaran publik. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi tokoh sentral yang mengawal proyek dan menyebut keputusan ini sebagai “jalan tengah” agar proyek bisa diselesaikan.
Audit keuangan memperlihatkan nilai proyek melonjak menjadi 7,26 miliar dolar AS (Rp119,7 triliun), dengan bunga pinjaman 3,3% dan tenor 45 tahun dari CDB.
2023: Uji coba dan peresmian di tengah kontroversi
Setelah tertunda beberapa kali, proyek KCJB mulai uji coba operasional pada September 2023 dan diresmikan Presiden Jokowi pada 2 Oktober 2023. Kereta berkecepatan 350 km/jam ini diberi nama Whoosh, singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat.
Namun, di balik peresmiannya, proyek ini masih dibayangi kontroversi. Biaya proyek membengkak menjadi 7,9 miliar dolar AS, dengan pinjaman sekitar 5,1 miliar dolar AS dari CDB. Sebagian pinjaman dijamin oleh BUMN, yang berarti berpotensi membebani keuangan negara.
2024: Pemerintah bahas skema pembayaran utang
Pada 2024, isu utang Whoosh kembali mencuat setelah Luhut Binsar Pandjaitan menyebut bahwa pemerintah tengah menegosiasikan cicilan utang ke China. Nilainya disebut mencapai lebih dari 2 miliar dolar AS, termasuk untuk bunga pinjaman dan biaya tambahan proyek.
Dalam rapat bersama Badan Pengelola Investasi (Danantara), Ketua Dewan Direktur Danantara, Purbaya Yudhi Sadewa, meminta agar pembayaran dilakukan bertahap.
“Kami sudah cicil ke China, sekitar 2 triliun rupiah per kuartal untuk mengurangi beban utang,” ujarnya.
Laporan keuangan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) tahun 2024 menunjukkan kerugian hingga Rp4,19 triliun, dengan Rp2,34 triliun diatribusikan kepada KAI.
Pada saat yang sama, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak menggunakan APBN untuk membayar utang, namun menyebut Danantara bisa mencicil Rp2 triliun per tahun dari dividen BUMN. Meski begitu, kondisi keuangan KAI makin berat karena bunga utang terus berjalan dan EBITDA belum cukup menutup beban bunga.
2025: Fokus restrukturisasi dan rencana pengembangan rute baru
Memasuki 2025, pemerintah melalui Danantara berupaya melakukan restrukturisasi utang Whoosh agar lebih berkelanjutan. CEO Danantara Rosan Roeslani mengatakan, negosiasi dengan China masih berlangsung untuk menyesuaikan tenor dan bunga pinjaman.
Namun, Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menyebut proyek Whoosh sebagai “bom waktu” di rapat DPR pada Agustus 2025.
Dalam enam bulan, beban keuangan KAI akibat proyek mencapai Rp4 triliun, dan diperkirakan bisa tembus Rp6 triliun pada 2026 jika tak segera diatasi. Pada saat yang sama, PSBI kembali mencatat rugi Rp1,62 triliun per Juni 2025.
Pandu Sjahrir, Chief Investment Officer Danantara, menegaskan bahwa dividen BUMN tidak akan digunakan untuk membayar utang, melainkan difokuskan pada investasi produktif.
Laporan AidData mencatat total utang konsorsium mencapai Rp54 triliun, dengan bunga tahunan sekitar 74,5 juta dolar AS (Rp1,2 triliun).
Dari proyek ambisius yang diharapkan menjadi simbol kemajuan transportasi nasional, Kereta Cepat Whoosh kini berubah menjadi tantangan finansial besar. Dengan nilai utang yang menembus puluhan triliun rupiah, restrukturisasi dan efisiensi manajemen menjadi satu-satunya jalan agar proyek ini tidak benar-benar menjadi “bom waktu” bagi BUMN Indonesia.