Liputan6.com, Antananarivo - Seorang kolonel militer yang merebut kekuasaan melalui kudeta resmi dilantik sebagai pemimpin baru Madagaskar pada hari Jumat (17/10/2025).Â
Kolonel Michael Randrianirina, komandan satuan elite tentara, mengucapkan sumpah jabatan sebagai presiden baru dalam upacara di ruang utama Mahkamah Konstitusi Tinggi, di hadapan sembilan hakim yang mengenakan jubah merah.
Randrianirina naik ke kursi kepresidenan hanya tiga hari setelah dia mengumumkan bahwa angkatan bersenjata mengambil alih kekuasaan di Madagaskar, negara kepulauan besar di Samudra Hindia yang terletak di lepas pantai timur Afrika dan berpenduduk sekitar 30 juta jiwa.  Â
Advertisement
Pengambilalihan kekuasaan ini terjadi setelah tiga minggu protes anti-pemerintah yang sebagian besar dilakukan oleh anak muda. Akibatnya, Madagaskar langsung diskors dari keanggotaan Uni Afrika.
Sementara itu, Presiden Andry Rajoelina dikabarkan meninggalkan negara itu dengan alasan keselamatannya terancam setelah sebagian tentara beralih kesetiaan kepada Randrianirina. Dia melarikan diri dengan pesawat militer Prancis. Tidak lama setelah itu, parlemen melakukan pemungutan suara untuk memakzulkannya, tepat sebelum Randrianirina mengumumkan pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
Â
Â
Â
Â
Ketidakstabilan Politik yang Berulang
Dalam upacara pelantikan, Randrianirina—yang diperkirakan berusia sekitar 50 tahun—menanggalkan seragam militernya dan mengenakan setelan jas gelap dengan dasi biru. Upacara tersebut dihadiri oleh perwira militer, pejabat sipil, dan diplomat asing, dengan barisan penjaga kehormatan berdiri di kedua sisi ruangan.
Kolonel yang sebelumnya tidak banyak dikenal ini tiba-tiba menjadi sorotan setelah memimpin pemberontakan satuan CAPSAT kurang dari seminggu lalu. Dua tahun sebelumnya, dia sempat dipenjara selama tiga bulan karena percobaan pemberontakan dan mengaku sebagian besar masa tahanannya di akhir 2023 hingga awal 2024 dijalani di rumah sakit militer.
Madagaskar dikenal memiliki tingkat kemiskinan tinggi—sekitar 75 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Negara bekas koloni Prancis ini memiliki sejarah panjang ketidakstabilan politik sejak merdeka pada 1960, dengan sejumlah kudeta dan percobaan kudeta.
Menariknya, Rajoelina sendiri juga naik ke tampuk kekuasaan pada 2009 melalui kudeta yang didukung militer.
Randrianirina mengatakan bahwa negara kini akan dipimpin oleh dewan militer, dengan dirinya sebagai presiden selama 18 bulan hingga dua tahun sebelum digelarnya pemilihan umum baru. Artinya, generasi muda yang memimpin gelombang protes kemungkinan harus menunggu lama sebelum bisa memilih pemimpin baru mereka.
Protes yang dimulai bulan lalu ini mencerminkan gerakan serupa yang dipelopori Gen Z di negara lain seperti Nepal dan Sri Lanka. Awalnya, anak-anak muda Madagaskar turun ke jalan karena pemadaman listrik dan air yang sering terjadi, namun tuntutan mereka berkembang mencakup tingginya biaya hidup, kurangnya lapangan kerja, serta dugaan korupsi dan nepotisme di kalangan elite.
Randrianirina memanfaatkan momentum tersebut dengan berbalik menentang Rajoelina dan bergabung dalam aksi protes yang menuntut presiden dan para menterinya mundur. Sempat terjadi bentrokan singkat antara pasukannya dan pasukan keamanan yang masih setia kepada Rajoelina, yang menewaskan satu prajurit CAPSAT.
Namun di luar itu, situasi tetap relatif tenang. Pasukan Randrianirina justru disambut dengan sorakan dan perayaan oleh banyak warga Madagaskar.
Advertisement
Kecaman PBB dan Uni Afrika
Dalam wawancara dengan Associated Press pada hari Rabu, Randrianirina menyatakan bahwa kudeta yang dipimpinnya merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai warga negara dan seorang patriot.  Â
"Mulai sekarang, kami akan memulihkan kejayaan negara ini, melawan ketidakamanan, dan perlahan-lahan menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi rakyat Madagaskar," ujarnya dari markas pasukannya, tempat dia pertama kali menyatakan niatnya untuk memimpin negara.
Sementara itu, kantor Rajoelina menuduh bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi Tinggi yang mengundang Randrianirina untuk menjadi presiden tidak sah secara hukum dan mengklaim beberapa hakim mendapat ancaman.
Pada hari Kamis (16/10), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres via juru bicaranya Stephane Dujarric kembali mengecam kudeta dan menyerukan kembalinya tatanan konstitusional serta supremasi hukum. Uni Afrika pun menegaskan bahwa mereka sepenuhnya menolak pengambilalihan kekuasaan itu.