KEMBAR78
Sejarah Kepala Daerah Dipilih Langsung, Kenapa Diubah? - News Liputan6.com
Sukses

Sejarah Kepala Daerah Dipilih Langsung, Kenapa Diubah?

Pilkada secara langsung di Indonesia dimulai pada tahun 2005. Sebelum itu, kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat atau dipilih oleh DPRD.

Diperbarui 31 Juli 2025, 08:27 WIB
Jadi intinya...
  • Pilkada langsung di Indonesia dimulai tahun 2005 sebagai bagian reformasi politik.
  • Pilkada diubah karena biaya tinggi, praktik koruptif, dan beban politik.
  • Pilkada lewat DPRD berpotensi menimbulkan masalah baru seperti hegemoni partai.

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada secara langsung di Indonesia dimulai pada tahun 2005. Sebelum itu, kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat atau dipilih oleh DPRD. Perubahan aturan tersebut, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Pilkada diubah karena merupakan bagian dari upaya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia setelah era Orde Baru.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kepala daerah seperti gubernur dan bupati dan walikota dipilih melalui perwakilan yakni DPRD. DPRD memiliki kekuasaan untuk memilih kepala daerah berdasarkan calon yang diajukan oleh partai politik. 

Namun kelemahan sistem ini ada pada letak kualitas demokrasi yang dihasilkannya. Sebab, kepala daerah seringkali lebih loyal pada partai politik atau anggota DPRD daripada kepada rakyat langsung.

Era Presiden Soeharto, Pilkada lewat DPRD lebih diperketat. Calon kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Sistem ini memperkuat posisi pemerintah pusat dalam mengendalikan pemerintah daerah.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengubah sistem tersebut. Lewat aturan ini,  pemerintah daerah diberikan otonomi yang lebih besar. Tidak lagi dikontrol oleh pemerintah pusat. Namun, Pilkada tetap melalui DPRD hingga tahun 2005. 

Pilkada langsung dipilih oleh rakyat baru dilakukan setelah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan. Pilkada langsung pertama kali dilakukan pada Juni 2005, dengan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu pelopor. 

Dalam sistem ini, rakyat dapat secara langsung memberikan suara untuk memilih pasangan calon kepala daerah. Sistem ini diterapkan sebagai bagian dari penguatan otonomi daerah dan untuk meningkatkan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat.

Di samping itu, tujuan utama pilkada langsung adalah memberikan hak kepada rakyat untuk memilih langsung kepala daerah mereka. Sehingga kepala daerah yang terpilih lebih merepresentasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Pilkada langsung juga bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan memperkuat otonomi daerah.

Pilkada langsung juga dapat menjadi ajang untuk mencari dan mengembangkan bibit-bibit pemimpin nasional di masa depan.

Promosi 1
2 dari 3 halaman

Kenapa Diubah?

Setikdanya, ada tiga alasan yang menjadi dasar para politisi ingin mengubah pilkada menjadi lewat DPRD.

Misalnya, penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen. Kemudian, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang. Ketiga, biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.

Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi pengusul awal yang membuat isu ini kembali dibahas publik. Cak Imin menyebut, pilkada langsung yang selama ini dilaksanakan menyisakan beban politik serta biaya tinggi. 

"Ya, PKB mendukung itu. Karena banyak pilkada yang high cost, banyak pilkada yang menyisakan beban politik. Kita ingin demokrasi kita lebih murah," ujar Cak Imin, di GBK, Senayan, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

Namun, dia menyerahkan sepenuhnya kepada DPR mengenai formula pemilihan kepala daerah ke depannya. 

"Dan sekarang ini sedang inventarisasi masalah, supaya seluruh paket undang-undang politik betul-betul menjamin percepatan pembangunan," ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Efek Negatif Pilkada Lewat DPRD

Pilkada lewat DPRD juga tak menjamin bisa memperbaiki kualitas demokrasi. Tidak menjamin juga akan melahirkan pemimpin yang terbaik.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan, alasan biaya tinggi bikin sistem pilkada langsung diubah mengada-ada.

Seharusnya, kata dia, perubahan sistem pilkada harus dilandasi dengan kajian dan evaluasi atas pelaksanaan pilkada yang telah dilakukan sejak 2005.

"Biaya tinggi yang terjadi di pilkada menurut kami tidak disebabkan oleh sistem pemilunya, melainkan praktik-praktik politic transaction seperti mahar politik dan politik uang yang sebenarnya telah dilarang di dalam UU Pilkada yang berlaku," kata Haykal, saat dihubungi merdeka.com, Minggu (15/12).

"Hanya saja, perlu diakui penegakan hukumnya masih belum maksimal dan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan," sambungnya.

Oleh karena itu, dia menekankan yang perlu diperbaiki yakni sistem pencalonan dan kampanye pada pilkada. Bukan secara tiba-tiba ingin mengubah sistem yang terbuka tersebut menjadi sistem yang tertutup.

"Sebab, efek yang ditimbulkan dari diubahnya sistem pilkada secara langsung menjadi dipilih oleh DPR tidak hanya berpengaruh pada sistem pilkadanya. Melainkan juga berpengruh pada pelaksanaan kedaulatan rakyat, termasuk sistem pemerintahan dan otonomi daerah," jelas dia.

Haykal menjelaskan, di negara dengan sistem presidensial, tidak dikenal suatu pemilihan pimpinan eksekutif dilakukan oleh lembaga legislatif. Jika pemilihan diuabh maka akan mengacaukan pelaksanaan otonomi daerah yang bisa bergesar kepada sentralisasi seperti masa orde baru.

Kemudian, Haykal menyebut, jika sistem pemilihan gubernur dipilih melalui DPRD akan menimbulkan dampak buruk lain, yakni transaksi antar petinggi partai politik dengan DPRD.

"Dampak buruk lainnya adalah potensi terjadinya hegemoni partai politik untuk bertransaksi dalam proses pemilihan kepala daerah yang di lakukan melalui DPRD. Petinggi partai akan menjadi aktor yg paling 'diuntungkan' dan memiliki keputusan kuat dalam proses tersebut," pungkasnya.

Produksi Liputan6.com