Liputan6.com, Jakarta - Pada 20 Juli tahun 1956 rakyat Indonesia pernah dikagetkan oleh surat mundur yang dikirimkan oleh Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Meski sekadar surat, tapi itu merupakan tonggak penting dalam sejarah bernegara bangsa Indonesia. Surat mundur itu dikirim Hatta ke Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun oleh DPR waktu itu, yang terdiri dari 5 partai, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Nahdatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), surat Hatta tidak segera direspons.
Parlemen tentu tak gegabah. Mundurnya Hatta akan menimbulkan tafsir dan spekulasi yang bermacam dan bisa membahayakan ketatanegaraan. Sebab, sebagai negara yang baru merdeka, ini adalah ujian besar retaknya pilot dan co-pilot. Hatta memilih meninggalkan kemudi kedua yang tak seharusnya dilakukan. Namun, rupanya perbedaan sudah meruncing dan agar tak sampai menimbulkan matahari kembar, mundur dianggapnya pilihan paling masuk akal.
Parlemen hasil Pemilu 1955 yang dikuasai PNI (57 kursi) dan Masyumi (57), ditambah NU (45), PKI (39), tak segera menjawab surat Hatta itu karena menunggu reaksi dan upaya rekonsiliasi Soekarno sebagai presiden. Soekarno meski sadar dia memiliki perselisihan yang besar dengan Hatta, tetap tak mau ditinggal Hatta. Soekarno sudah mencegah langsung, melarang persuasif tapi tak berhasil. Kemudian presiden membujuk melalui istri Wapres, Rahmi Hatta, meminta agar suaminya membatalkan mundur sebagai orang kedua RI. "Yuke, tolong kasih tahu Hatta, suamimu untuk tidak mundur," kata Presiden Soekarno pada Rahmi yang akrab dipanggil Yuke.
Advertisement
Tapi kata Rahmi, kalau sudah jadi keyakinan, ketetapan Hatta tak bisa dicegah. Karena tak segera direspons DPR, Hatta mengirim sekali lagi surat tertanggal 23 November, dengan isi yang sama dan ditambahkan penegasan, bahwa ada atau tidak respons DPR, per 1 Desember 1956 dirinya tetap akan mundur, tidak ngantor, sudah tidak menjabat wakil presiden lagi. Akhirnya DPR pun memutuskan per 30 November Hatta resmi mundur dari Wapres RI. Sejak peristiwa itu, banyak pihak yang menyesalkan Hatta mundur. Hatta adalah simbol kecerdasan, kejujuran, ketelitian, detil, keteguhan sikap, orang baik, pemikir, berwawasan luas, pejuang, memiliki kepedulian sosial tinggi, pencetus diplomasi bebas aktif, dan memiliki reputasi internasional serta karya pemikiran yang banyak. Sejak hari itu, banyak kalangan menilai, bahwa seorang sekualitas Hatta, yang dikenal gigih, persisten, memilih mengalah. Menepi. Meski tidak menyepi. Setelah keluar dari wakil presiden, Hatta rajin mengkritik kebijakan presiden Soekarno.
Keduanya memang memiliki perbedaan pandangan dan strategi sejak beberapa tahun setelah kemerdekaan. Puncak perbedaan yang mencolok adalah, Hatta seperti tertuang dalam buku Demokrasi Kita, mendasarkan kekuasaan adalah pada rakyat dan melalui perwakilannya di parlemen. Hatta mulai melihat kecenderungan Soekarno semakin tak terkendali dan mengarah kepada demokrasi terpimpin yang sentralistis, kalau tak menyebut otokrasi. Hatta, melalui maklumat X, Oktober 1945 tak lama setelah merdeka, dengan posisinya sebagai Wapres sekaligus Perdana Menteri mengubah arah demokrasi dari presidensial ke parlementer. Oleh pakar politik Lambert Giebels dalam Biografi Soekarno, menilai maklumat itu sebagai kudeta diam-diam. Menurut Indonesianis Amerika Daniel Lev bahwa kabinet parlementer di masa lalu lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan Indonesia selama ini. Lepas dari subjektivitas tersebut, Soekarno merasa geraknya jadi terbatas dalam menjalankan demokrasi kepemimpinannya.
Antara Gas dan Rem
Meski di awal sudah mulai banyak perbedaan, tapi keduanya adalah pasangan yang saling mengingatkan, saling dibutuhkan, antara gas dan rem. Hatta bagaimanapun terus melakukan perjuangan secara kultural dan struktural serta sistematis, dalam menghadapi cobaan menggoyang keabsahan kemerdekaan RI. Tahun 1949 Hatta memimpin delegasi Indonesia ke Belanda untuk ikut Konferensi Meja Bundar (KMB). Ini adalah rapat penting mengenai penentuan nasib Indonesia. Sebab, setelah merdeka, Indonesia tak langsung mendapat pengakuan dari Belanda. Cobaan perang dengan bentuk agresi militer dilakukan berkali-kali oleh penjajah dengan langsung maupun proxi sekutu.
Dengan menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin intelek, yang rajin dan disiplin sejak kecil, juga diakui kawan-kawannya seperti Sutan Sjahrir bahwa Hatta juga rajin belajar selama di kampus di Belanda, dan sering berdiskusi di Eropa. Tak heran Hatta piawai juga berdiplomasi. Dengan argumentasi yang kuat, Hatta menolak utang Belanda dibebankan ke pemerintah baru Indonesia. Dia menyampaikan ancaman akan membiarkan tumbuh suburnya komunisme bila Belanda tak segera mengakui kedaulatan RI. Setelah melakukan serangkaian diplomasi, akhirnya Hatta mendapatkan pengakuan dari Belanda bahwa Indonesia adalah negara berdaulat meski bertahap, dengan embel-embel RIS (Republik Indonesia Serikat).
Meski Belanda akhirnya menolak membayar utang dan membebankan Indonesia sebagai republik baru dengan utang 4,3 juta gulden, ketika delegasi Belanda menyatakan mengakui kedaulatan Indonesia, di situlah inti dari diplomasi. Karena menandai akhir dari penjajahan Belanda atas RI secara tegas. Oleh karena itu, Hatta dan delegasi Indonesia termasuk M Roem, Katim Pringgodigdo, Leimana, Supomo, Ali Sastroamijoyo, Sumitro Djojohadikusumo, TB Simatupang dan Muwardi, langsung hari berikutnya mendapat sambutan Ratu Juliana.
Ratu Juliana haru dan emosional karena kehilangan satu koloni. Meski haru tapi itu simbol kedaulatan RI. Dan, Hatta dalam sambutannya pendek tapi bermakna, “tanpa ngasorake” (tanpa merendahkan), dengan mengatakan bahwa ke depan baik Indonesia dan Belanda akan berhubungan baik dan berkembang bersama, bekerja sama atas dasar kemerdekaan dan persamaan penuh. Meski demikian, Soekarno tak sepakat dengan hasil KMB. Ia inginkan kemerdekaan tanpa syarat apapun termasuk kewajiban bayar utang yang jadi beban negara.
Jiwa dan pandangan Hatta pada daulat rakyat tercermin dalam karya dan tindakan. Dalam bukunya “Demokrasi Kita”, Hatta menekankan demokrasi Indonesia harus berakar pada nilai-nilai lokal, seperti gotong royong, musyawarah, dan keadilan sosial. Ia menolak demokrasi liberal Barat yang terlalu individualistik dan demokrasi sosialis yang cenderung otoriter. Ia juga memikirkan sistem ekonomi yang demokratis dengan model gotong royong yakni koperasi. Beda dengan badan hukum yang mengutamakan perkumpulan pemegang saham, koperasi semangatnya adalah persekutuan orang. Artinya, akan hidup apabila dalam sekelompok orang secara bahu membahu untuk memikirkan kebutuhan bersama. Jadi pendekatannya bukan pada modal tapi semangat bersama, dari anggota untuk anggota.
Ini tentu saja bisa beda dengan praksis yang sedang berjalan dengan Koperasi Merah Putih (KMP) yang dikembangkan pemerintah sekarang yang akan mendapat kucuran berupa pinjaman dana dari pemerintah melalui bank yang ditunjuk. Apakah KMP merupakan varian atau komodifikasi dari yang dicita-citakan Hatta, wallahuallam bi sawwab. Yang pasti tidak ada yang secara elegan menyatakan bahwa itu sesuai atau tidak. Ide koperasi sebenarnya juga pola pikir Hatta yang memahami secara mendalam tentang negara sejahtera (welfare state). Model ini negara sejahtera ini sukses di Jerman, Denmark, Finlandia, Norwegia, dan negara kawasan Nordic lainnya. Sementara banyak langkah yang dilakukan hari-hari ini di Indonesia, menghasilkan rasa pesimisme. Ada yang memplesetkan, cita-cita “welfare state” dapatnya “farewell state”. Alih-alih negara sejahtera malah selamat tinggal negara. Semoga tidak.
Advertisement
Hatta Memilih Mundur
Dengan sederet prestasi, kemampuan, dan kejujuran, Hatta yang kukuh akhirnya memilih mundur. Hatta mungkin tidak rugi, tapi bisa jadi, para pendukung pemikiran Hatta menilai, bahwa salah satu kegagalan bangsa ini karena tumbangnya Hatta dalam pertarungan ide dan gagasan serta eksekusi yang menuntut perjuangan yang persisten, kalah. Hatta memilih mundur, mengalah. Akibatnya, bangsa Indonesia yang rugi. Sampai hari ini. Meski setelah mundur dia terus bekerja dari luar pemerintahan dan menggempur Soekarno dengan kritikan pedas, tak banyak menghasilkan hal positif buat keseluruhan bangsa. Minimal tak terealisasi. Karena Soekarno memilih membiarkannya. Kalaupun yang patut ditiru adalah Soekarno sejengkel apapun tetap menerima kritik Hatta, tak pernah lapor polisi atau pengadilan atau mengkriminalisasikan mantan duetnya itu. Bahkan Soekarno saat Guntur menikah, meminta Hatta sebagai saksi nikah, dan kejadian mau. Perbedaan politik dan pemikiran tak menghalangi persahabatan. Menjelang Soekarno wafat, Hatta menjenguk kawan proklamatornya itu, Soekarno menggenggam tangan Hatta lama sekali, seperti dituturkan Meutia Hatta dalam buku “Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya”.
Persistensi orang baik, hebat, berprestasi, tapi kalah dengan fakta politik juga terjadi pada BJ Habibie, mantan presiden RI 1998-1999. Meski di situasi sulit setelah naik menggantikan Soeharto, pada eranya Habibie sebagai presiden berhasil membalik situasi sulit. Habibie menurunkan nilai dolar terhadap rupiah dari Rp16 ribu/US menjadi Rp6 ribu/US, juga berhasil menyelesaikan 68 undang-undang dalam waktu 16 bulan, termasuk salah satunya undang-undang pers yang menjamin kemerdekaan pers. Apalagi reputasi internasionalnya dan paten teknologi termasuk julukannya sebagai Mr Crack, tak membuat Indonesia merasa perlu orang berkualitas. Rasanya bangsa ini telah menyia-nyiakan negara dengan membiarkan orang berkualitas untuk berkontribusi pada negara. Seperti halnya Hatta, Habibie tak menggunakan kekuatan apapun yang mungkin bisa digunakannya seperti Golkar, atau tindakan politiking lainnya, agar dia bisa terpilih sebagai presiden lagi. Tidak. Habibie begitu laporan pertanggungjawaban ditolak DPR-MPR — bahkan sebelum dibacakan karena Megawati menyatakan menolak — langsung turun dari podium, dan tidak menoleh lagi. Menepi. Tidak lagi cawe-cawe, hingga wafat.
Hatta dan Habibie adalah dua fakta, betapa orang yang berkualitas dan baik bahkan tidak korupsi meski di dalam kekuasaan (seperti stereotype hari-hari ini), harus mundur teratur. Persistensi mereka kendor, kalah dengan kekerasan politik lain yang mungkin justru lemah argumen dan substansi tapi menang gertak, menang orasi, bahkan keroyokan. Hatta dan Habibie, bagai kesatria dengan gaya Jawa yang menyatakan : Sing waras ngalah (Yang baik nalar lebih baik mengalah).
Hari ini, di mana kritikan Hatta tahun 1962 masih relevan — kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, — saatnya para cerdik pandai yang kritis, berprestasi, jujur, punya ide memakmurkan rakyat, berwawasan, untuk tidak mudah mengalah. Kalian harus tetap memberikan kontribusi terbaik untuk bangsa dan negara ini. Tidak terjebak pada input atau pendapatan sesaat semata. Sebab, sejatinya kualitas dan sukses orang seharusnya bukan diukur dari income semata tapi output atau social outcome yang bermakna dan berdampak sosial. Hari ini, saatnya yang waras jangan ngalah. Jaga komitmen, dedikasi, jati diri, untuk mengambil alih peran penting memimpin bangsa ini. Perlunya orang cerdik pandai dan berkarakter untuk menjaga persistensinya demi Indonesia lebih baik. Jangan biarkan orang tak kompeten nir kapasitas mengurus (merongrong) bangsa ini.