Liputan6.com, Jakarta - Aksi demonstrasi adalah bagian sah dari demokrasi. Ia menjadi ruang bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi, menyampaikan kritik, dan menuntut perubahan. Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi aksi anarki, pesan yang ingin disampaikan justru kehilangan makna.
Beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan demonstrasi yang berujung pada kerusakan fasilitas umum, bentrokan, bahkan ancaman terhadap keselamatan warga. Padahal, tuntutan yang dibawa—seperti perlindungan profesi, keadilan ekonomi, atau regulasi yang berpihak—adalah isu-isu penting yang layak diperjuangkan.
Sebagai pendidik, saya percaya bahwa kekuatan aspirasi terletak pada cara penyampaiannya. Demo yang tertib, terorganisir, dan berbasis data bukan hanya lebih efektif, tapi juga menunjukkan kedewasaan gerakan sipil. Ia mengundang dialog, bukan penolakan.
Advertisement
Ketertiban dalam aksi bukan sekadar soal disiplin barisan atau izin keramaian. Ia mencerminkan bahwa gerakan tersebut memahami tanggung jawab sosial. Menyampaikan aspirasi tidak harus mengganggu hak publik lainnya. Ketika demonstrasi berlangsung dengan rute yang jelas, komunikasi yang terbuka, dan tanpa provokasi, publik cenderung mendengarkan bukan menghadapi kecemasan karena keamanan mereka terganggu.
Organisasi aksi yang baik, terdiri dari struktur panitia, distribusi informasi, hingga pengelolaan logistik aksi. Organisasai aksi ini menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar luapan emosi, melainkan hasil pemikiran kolektif yang matang. Ia memberi sinyal kepada pemerintah dan media bahwa tuntutan yang disampaikan lahir dari proses deliberatif, bukan impulsif.
Dan ketika aksi dilandasi data berupa angka, fakta, dan analisis yang matang, maka pesan yang dibawa akan menjadi lebih kuat dan sulit diabaikan. Demonstrasi yang menyertakan hasil riset, testimoni lapangan, atau perbandingan kebijakan menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya melakukan aksi protes, tapi juga menawarkan solusi. Di titik inilah dialog bisa terjadi. Pemerintah tidak lagi berhadapan dengan massa yang marah, tapi dengan warga yang siap berdiskusi untuk solusi bersama.
Bentuk Penghormatan Demokrasi
Sebaliknya, aksi yang tidak terarah, penuh provokasi, dan minim substansi justru membuka ruang bagi para oknum untuk melakukan hal yang tidak bertanggung jawab. Ia mudah dibingkai sebagai ancaman, bukan aspirasi. Pesan utama demonstrasi menjadi hilang, dan digantikan oleh narasi kerusuhan, anarksi dan kecemasan masyarakat.
Karena itu, menjaga demo tetap tertib, terorganisir, dan berbasis data bukan hanya soal strategi, tapi soal etika gerakan sipil. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap demokrasi itu sendiri. Suara rakyat bisa lantang, tapi tetap bermartabat.
Anarki bukan sebuah keberanian. Ia adalah kegagalan komunikasi. Ia merusak kepercayaan publik, memberi ruang bagi stigma buruk terhadap gerakan sosial, dan justru memperlemah posisi tawar demonstran di mata publik.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperkuat:
- Pertama, perlu dilakukan koordinasi internal yang matang. Panitia aksi harus memastikan peserta memahami tujuan, rute, dan batasan aksi.
- Kedua, membuat narasi publik yang membangun. Peserta aksi dapat mengunakan media sosial untuk menyampaikan pesan dengan empati dan data, bukan provokasi.
- Ketiga, massa aksi dapat melakukan kolaborasi dengan aparat keamanan. Kolaborasi disini adalah untuk saling menjaga agar ruang demokrasi tetap aman.
- Keempat, melakukan edukasi pada peserta aksi. Edukasi mengenai demonstrasi adalah sebuah ekspresi, bukan aksi destruksi.
Demo yang damai bukan berarti lemah. Ia justru menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya marah, tapi juga siap berdialog dan berkontribusi dalam perubahan. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang berani bersuara, tapi juga yang tahu cara menjaga martabatnya saat bersuara.
Advertisement