Liputan6.com, Jakarta Nepal, negara berdaulat di Asia, yang identik dengan Pegunungan Himalaya, jatuh karena gerakan pemuda yang berusia antara 12-27 tahun (Generasi Zelenial atau Gen-Z).
Setelah sepekan tanpa perdana menteri (PM) dan atau presiden sejak jatuhnya ibu kota Nepal, Kathmandu, akhirnya pada 14 September 2025 terpilih PM baru, Sushila Karki. Dalam menyampaikan pernyataan publik perdana usai dilantik, Karki berjanji akan memenuhi kehendak Gen-Z.
Dia memang pilihan Gen-Z. Cara pemilihannya memakai aplikasi sosial media discord. Ini aplikasi yang banyak digunakan para gamer, seperti halnya X namun lebih tertutup dan antaranggota grup saling mengetahui meski dengan nama akun anonim.
Advertisement
"Kita harus bekerja sesuai dengan pemikiran generasi Gen Z," kata Karki. "Yang dituntut kelompok ini adalah pengakhiran korupsi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan kesetaraan ekonomi. Anda dan saya harus bertekad untuk memenuhinya," tambah Karki.
Penulis hendak membahas soal kerusuhan akhir Agustus lalu dari sisi teori komunikasi dan teknologi informasi. Tiba-tiba kita dihentakkan peristiwa di Nepal. Negara di Himalaya yang ras dan kulturnya mirip India itu, melakukan reformasi besar-besaran yang digerakkan oleh generasi muda (Gen-Z). Anggota parlemen digeruduk, dikejar-kejar, diceburkan sungai. Terpilihnya Sushila Karki mengakhiri kekosongan kepemimpinan Nepal.
Sebelumnya situasi di Nepal ngeri. Menteri keuangan Bishnu Paudel ditendangi, ditelanjangi, diseret massa bagai hewan piaraan. Beberapa menteri dievakuasi dengan helikopter dengan cara pegangan tali, tragis. Puncaknya, Presiden Nepal Ram Chandra Poudel dan Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur. Lebih menyedihkan, dikabarkan 19 orang tewas dalam kerusuhan itu, 300 lebih luka ringan dan serius.
Gen-Z Nepal sepertinya muak dengan pamer kekayaan pejabat dan keluarganya atau istilah mereka nepo-kid. Anak menteri, anak parlemen, memajang foto-foto di media sosial di restoran elit dalam dan luar negeri, dengan mobil-mobil mewah, sementara kemiskinan besar melanda negara itu.
Sepuluh tahun lalu ketika penulis turun dari pesawat, di bandara Kathmandu yang kusam, banyak pemuda tenaga kerja Nepal di luar negeri pulang bawa tv monitor flat dan barang-barang elektronik lainnya. Nepal hidup dari devisa luar negeri yang dibawa/kirim pulang. Pada 2024, kiriman uang pribadi yang diterima mencapai 33,1% dari produk domestik bruto (PDB) negara sebesar US$ 42,91 milyar. Artinya sumbangan warga TKN (tenaga kerja Nepal) di luar negeri mencapai US$14,16 milyar atau Rp226,6 triliun. Angka yang tak main-main. Mereka banyak keluar negeri atau kabur aja dulu karena di dalam negerinya, tidak kondusif.
Menurut data Bank Dunia persentase pemuda Nepal yang menganggur dan tidak mengenyam pendidikan mencapai 32,6% pada 2024, dibandingkan dengan 23,5 persen di negara tetangganya India. Pengangguran kita di Indonesia 4,7% dari angkatan kerja terbuka atau sekitar 7,2 juta orang.
Dalam situasi yang krisis, ketika kalangan dewasa tak kuasa berpendapat, justru para generasi muda (Gen-Z) yang berteriak. Salah satu tokohnya adalah Aviskhar Raut yang dikenal dengan pidatonya yang bersemangat dengan slogan "Jai Nepal". Dia adalah sosok yang menjadi simbol perlawanan generasi muda Nepal dalam gerakan yang menuntut keadilan sosial dan melawan korupsi, serta menjadi penggerak aksi massa yang mengguncang pemerintahan Nepal.
Kritik tajam terhadap korupsi, pengangguran, dan ketimpangan sosial di Nepal adalah diksi dan narasi penting Aviskhar. Tentu juga soal tuntutan untuk keadilan sosial dan perlawanan terhadap korupsi, mengarahkan gerakan dari penolakan awal terhadap larangan media sosial menjadi protes yang lebih luas terhadap isu-isu sosial dan politik. Yang terakhir ini penting. Ini benar-benar kemarahan yang tak terbendung bagi para Gen-Z Nepal.
Pemerintah menutup media sosial, termasuk Facebook, Instagram, YouTube, X, Discord, karena tidak mendaftar secara lokal sesuai regulasi baru karena beralasan belum melakukan registrasi. Ada belasan platform yang ditutup, kecuali Tiktok dan Viber karena sudah comply (sesuai) dengan kebijakan pemerintah. Justru dengan kedua platform itu kemarahan mereka ditumpahkan, narasi-narasi kemarahan pada pejabat dan keluarganya ditumpahkan, sehingga rusuh, gedung parlemen dibakar, sampai pemerintahan jatuh. Aviskhar tak hanya pidato tapi juga turun ke jalan-jalan di Kathmandu.
Dalam The Trial and The Castle, Franz Kafka menyampaikan, kerusuhan bisa dibaca sebagai ekspresi dari alienasi kolektif terhadap negara yang dirasa tidak hadir atau tidak adil. Ia juga melihat bahwa kerusuhan sebagai gejala dari sistem yang gagal menjelaskan dirinya sendiri. Warga tidak tahu kepada siapa mereka harus mengadu, dan akhirnya meluapkan frustrasi secara destruktif.
Fenomena Avishkar Raut adalah contoh nyata bagaimana media sosial dan retorika publik bisa menjadi alat mobilisasi sosial yang dahsyat.
Antara Nepal dan Indonesia
Dalam sebuah laporan televisi, pembawa acara menyebut bahwa kejadian di Nepal ini mengikuti pola yang terjadi dalam demo dan kerusuhan di Indonesia. Meski tidak sama persis, nampaknya memiliki kemiripan. Di Indonesia, akhir Agustus sejak 28 sampai tanggal 31 lalu dilanda kemarahan rakyat berupa demonstrasi besar-besaran. Pelaku demo mulai dari mahasiswa, masyarakat umum, termasuk para sopir ojek online (Ojol), lalu berujung kerusuhan sosial berupa penjarahan rumah para anggota DPR Eko Patrio, Uya Kuya, Sahroni, dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Demo yang dilanjut aksi masa penjarahan dan perusakan fasilitas umum, reda setelah berujung Presiden Prabowo bertemu dengan para pimpinan partai yang kemudian menonaktifkan lima anggota fraksi di DPR: Eko Patrio, Uya Kuya (PAN), Sahroni, Nafa Urbach (Nasdem), dan Adies Kadir (Golkar), belakangan Rahayu Saraswati (Gerindra) atas inisiatif sendiri mundur dari parlemen.
Aksi massa yang dianggap sebagai kemarahan rakyat tersebut terjadi secara menyeluruh di kota-kota besar nasional, antara lain ditandai dengan pembakaran fasilitas polisi dan gedung-gedung pemerintahan dan DPRD.
Khusus di Indonesia, suasana demo murni yang kemudian ditunggangi kerusuhan oleh kelompok terorganisir, diwarnai dengan adanya penutupan fasilitas/fitur TikTok Live.
Memang tidak ada kebijakan resmi untuk penutupan jaringan media sosial, tapi Tiktok Live yang pengguna aktifnya di kalangan muda, ditutup. Siapa yang menutup fitur "live" Tiktok? Pihak manajemen TikTok mengatakan secara sukarela menangguhkan fitur Live mulai 30 Agustus 2025, sebagai respons terhadap meningkatnya kekerasan dalam aksi demonstrasi di berbagai kota.Â
Meski sudah menyampaikan, publik tetap mencurigai bahwa itu permintaan pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Digital menegaskan bahwa tidak ada arahan atau permintaan resmi dari pemerintah untuk mematikan fitur tersebut. Menteri Komdigi Meutya Hafidh dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menyebutkan penutupan fitur TikTok Live sebagai "inisiatif" TikTok. Tiktok melakukan itu dengan alasan agar TikTok tetap menjadi "ruang yang aman dan beradab" selama situasi sosial-politik yang memanas. Misalnya saja ternyata ada konfirmasi bahwa penutupan TikTok live adalah bagian dari skenario pemerintah dalam hal ini Komdigi, bukan tidak mungkin memicu kemarahan lebih besar, dan seperti yang terjadi di Nepal yang mengakibatkan pemerintahan jatuh.
Meski tidak setragis Nepal yang menjatuhkan pemerintahan, di Indonesia gerakan demo massa — yang menelan korban 9 orang termasuk sopir ojol Affan Kurniawan — telah membuat pemerintah melakukan beberapa koreksi. Anggota parlemen beberapa dinonaktifkan, ada yang mundur sukarela, dan presiden melakukan penggantian kabinet termasuk Sri Mulyani yang dianggap berkaitan dengan keresahan publik karena kebijakan pajaknya. Sri kemudian digantikan Purbaya Yudhi Sadewa.
Advertisement
Media Berubah, Pesan Tetap
Dalam perkembangan komunikasi, dari dulu media termasuk Tiktok dan Medsos lainnya, adalah bukti bahwa pesan melalui instrumen tersebut bisa mengubah struktur sosial. Media bisa berubah, tapi pesan tetap tidak berubah dan memiliki dampak yang signifikan.
Seperti diketahui, media ada sejak era jaman batu, dikenal Hieroglif, ukiran gua. Dipakai menyampaikan pesan propaganda kerajaan Romawi Kuno (59 SM), abad 15-17 ada Acta Diurna, Publikasi kebijakan Caesar, model agitasi elite. Abad 18–19 ada surat kabar cetak sebagai penyebaran ide dan reformasi, revolusi cetak (Gutenberg), Bermunculan majalah, pamflet, gerakan pencerahan, revolusi Perancis, anti-kolonialisme. Pada 1920-an Radio sebagau propaganda  perang, nasionalisme (Hitler, Roosevelt).
Pada 1945-1950 Bung Karno dan Bung Tomo di Surabaya memanfaatkan radio untuk mengusir penjajah. Tahun 1980-an televisi mulai memobilisasi massa, kampanye politik, revolusi budaya, sehingga politisi merasa perlu dekat dengan redaksi dan pemilik televisi.
Tahun 1990-an, era SMS dan email. Koordinasi gerakan bawah tanah (Iran, Filipina) memanfaatkan teknologi baru waktu itu yakni SMS. Tokoh karismatik Kardinal Jaime Sin dan Cory Aquino menggerakkan massa dan terjadilah revolusi di Filipina dengan tergulingnya diktator Ferdinand Marcos.
Joshua Wong, pemuda Hongkong pada tahun 2019 menggerakkan demonstrasi di Hong Kong, ditangkap pemerintah China. Dia memprovokasi warga untuk menolak kebijakan China yang menangkap dan mengadili warga Hong Kong di Cina daratan (Beijing). Dengan media sosial Facebook, Youtube, dan Twitter, dia melakukan penentangan. Juga yang dahsyat pakai Forum daring (LIHKG) yang hanya ada di Hong Kong sebagai tempat daring utama bagi para demonstran untuk berdiskusi, merencanakan taktik, dan membuat keputusan kolektif dalam gerakan protes tersebut. Media sosial juga menjadi faktor kunci terjadinya pergolakan di Timur Tengah dalam Arab Spring (Tunisia, Libya, Mesir) tahun 2010-an.
Setelah jaman batu, komunikasi era cetak atau pasca ditemukan bubur kertas, lalu merambah radio, televisi, internet (media online) kemudian media sosial (Tiktok/Youtube Live), ke manakah arah pergeserannya? Akankan AI menjadi pola komunikasi berikutnya, karena model pesan dan sebarannya juga berbeda. Di mana AI basisnya adalah promp atau kualitas pertanyaan pengguna, tapi dari pusat data yang besar (LLM: large language model). Komunikasi akan menemukan jalannya dan setiap generasi tahu bagaimana menggunakan secara efektif dan optimum. Oleh karena itu pemegang kebijakan tidak bisa ketinggalan mengenai perkembangan teknologi, harus lebih advance, untuk konteks melindungi warga negara. Negara harus hadir dan tak boleh kalah.
Sebab, dalam kasus Nepal selain kualitas penguasaan teknologi komunikasi yang lemah, penerapan regulasinya juga tidak tepat. Pelarangannya pun terkesan mengada-ada, di mana algoritma dihadapi dengan pendekatan konvensional. Padahal menurut sejarawan popular saat ini, Yuval Noah Harari dalam Nexus mengatakan, informasi sebagai alat kekuasaan dan kontrol sosial. Ia nenekankan, bahwa jaringan informasi bukan hanya sarana komunikasi, tapi juga instrumen kekuasaan negara dalam konteks perlindungan dan fasilitasi rakyat. Dalam konteks kerusuhan, penutupan platform sosial media bisa dilihat sebagai bentuk intervensi terhadap arus informasi, yang bertujuan mengendalikan narasi publik dan mencegah mobilisasi.
Dalam Nexus juga, Harari menunjukkan bahwa teknologi informasi bisa membebaskan masyarakat—misalnya, dengan menyebarkan kebenaran dan membangun solidaritas. Namun, ia juga bisa menjadi alat penindasan, seperti ketika negara atau aktor dominan memutus akses komunikasi untuk meredam protes.
Teori media Marshall McLuhan: "The medium is the message" dalam analisa kasus TikTok bisa dimaknai, bahwa TikTok bukan sekadar platform, tapi struktur kekuasaan. Sementara dalam analisa psikologi massa Gustave Le Bon mengatakan, bagaimana informasi visual memicu emosi kolektif. Oleh karena itu di era televisi pemerintah atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu mengingatkan dan membuat pedoman petunjuk liputan kalau ada kasus krisis tertentu.
Setelah batu, lontar, media cetak, radio, televisi, media online, dan medsos, maka AI ke depan bukan tidak mungkin tampil sebagai aktor politik baru. Sebab AI kini berperan dalam menentukan apa yang dilihat, dipercaya, dan disebarkan oleh masyarakat. Dalam kerusuhan, algoritma TikTok bisa menjadi medan tempur: siapa yang menguasai algoritma, bisa mengarahkan opini publik atau menyembunyikan fakta.
Bagaimana negara mengantisipasi hal itu ke depan? Bagaimana negara bisa memiliki kendali atas platform-platform yang lebih banyak dikendalikan korporat global? Komdigi dengan adanya direktorat pengawasan ruang digital, harus bisa menunjukkan kapabilitas dan kemampuan yang robust (tangguh) dan teruji. Bila tidak, taruhannya adalah kedaulatan (soverignty) bangsa. Antisipasi ini harus segera dan mendesak. Kalaupun sudah ada harus bisa diuji. Sebab, saat ini khusus pengguna TikTok di Indonesia sekitar 194 juta adalah terbesar di dunia. Jumlah pengguna tersebut bila dibanding dengan populasi penduduk Indonesia 286 juta, maka tingkat penetrasinya sebesar 67%, jumlah yang sangat signifikan. Potensinya makin berkembang. Perlu mendapat perhatian serius dengan bermacam tindakan preventif lainnya.
Selain medsos tak terkecuali TikTok, perlu diantisipasi perkembangan AI yang dahsyat. AI dari pengembang manapun, baik Chatt GPT, Gemini, Deep Seek, Genora, Vertex, TensirFlow, Grok, Copilot, Genora, AWS Sagemaker, dan lain-lain. Juga macam-macam model AI seperti generative AI, komputer vision AI, neuro language program (NLP), atau yang predictive AI dan sebagainya. Pemerintah harus segera cepat memahami banyak hal ini agar tetap bisa melindungi warga negara dan menjaga kedaulatan negara karena sebagian besar pengembang adalah korporat global.
Seperti kata Presiden Prabowo dalam sebuah pidato akhir Desember 2024 mengatakan, "Jajaran pemerintah harus memperbaiki diri, membersihkan diri, sebelum nanti rakyat yang membersihkan kita (pemerintah), lebih baik kita bersihkan diri sendiri," kata Prabowo dalam acara Musrenbangnas dalam Rangka Pelaksanaan RPJMN 2025-2029 di Gedung Bappenas, Desember 2024.
Semoga kita berdaulat, termasuk di ruang digital dengan kapasitas orang-orang di pemerintahan. Kapasitas dan dedikasi akan menjamin kredibilitas, sehingga mendapat kepercayaan atas amanah yang diemban. Jangan sampai berpikir bahwa rakyat bisa dibodohi dan tinggal diam. Akhir Agustus sudah terbukti, Nepal pun memberi pesan nyata. Kalau tetap korup, tidak menjaga diri, tidak bersih, rakyat sewaktu-waktu akan membersihkannya.