Liputan6.com, Jakarta Dunia digital telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mayoritas penduduk dunia, termasuk Indonesia. Sejak bangun hingga mata terpejam lagi, kehidupan manusia modern tidak dapat lepas lagi dari gawai. Ketergantungan manusia terhadap gawai dan dunia digital tidak mengenal usia. Dari anak-anak hingga orang dewasa, tidak dapat lepas darinya.
Dengan kondisi demikian, maka seluruh upaya memberikan perlindungan terhadap anak dan memastikan hak-hak anak terpenuhi, juga harus kita upayakan baik di dunia nyata maupun digital. Orangtua, masyarakat, pendidik, dan pemerintah, tidak bisa lagi melepaskan diri dari hal tersebut.
Alasan bahwa anak-anak sangat pandai dan terampil di dunia digital, sehingga orang dewasa jadi lebih tertinggal tidak lagi bisa menjadi justifikasi gagalnya upaya melindungi anak di dunia digital.
Advertisement
PP Tunas, Respons Tantangan Perlindungan Anak di Dunia Digital
Bulan Maret tahun ini, Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Perlindungan Anak, atau yang biasa disingkat sebagai PP Tunas. Peraturan ini mengatur klasifikasi usia anak untuk mengakses platform digital berdasarkan tingkat risiko.
PP ini bertujuan menciptakan ekosistem digital yang aman, sehat dan mendukung tumbuh kembang anak Indonesia. Di dalam PP tersebut juga mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memastikan adanya persetujuan orang tua dan fitur kontrol orang tua, untuk pengguna anak.
PSE juga wajib memberikan edukasi pada anak dan orang tua terkait penggunaan internet bijak dan aman. Sanksi tegas seperti denda, sampai ancaman penghentian layanan akan dikenakan pada PSE yang melanggar. Ini adalah salah satu bentuk nyata upaya negara dalam melindungi anak di ranah digital.
Wahana Visi Indonesia (WVI) yang telah lebih dari 25 tahun mendampingi anak Indonesia di berbagai wilayah, dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2025, telah mengumpulkan suara dari anak-anak dampingan. Diwakili oleh Dewan Penasehat Anak WVI kami kami menggali pemahaman tentang kebutuhan anak. Berbagai suara muncul, termasuk diantaranya tentang perlindungan anak di ranah digital.
“Di dunia digital, anak-anak butuh perlindungan yang nyata dari perundungan, eksploitasi, dankonten berbahaya. Bantu kami mengerti bagaimana menggunakan internet dengan aman danbijak. Berikan edukasi digital yang ramah dan menyenangkan.,”
demikian salah satu butir pernyataan yang disampaikan oleh anak-anak di dalam acara tersebut.
Di usia PP yang masih seumur jagung, kita semua memiliki kesempatan besar untuk bersama-sama berkontribusi mencapai tujuan peraturan ini. Kita semua tahu bahwa aturan saja tidak akan berbunyi jika tidak diikuti oleh serangkaian kegiatan yang mendukung. Seperti halnya aturan lain, sosialisasi adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang menjadi sasaran aturan tersebut memahami dan melaksanakan dengan tepat.
Sosialisasi yang dilakukan harus inklusif. Jangkauan digital telah menyentuh berbagai lapisan masyarakat, baik secara geografis, usia, tingkat ekonomi, termasuk kelompok disabilitas, maka sosialisasi juga harus dipastikan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) sekalipun, sudah banyak yang menggunakan teknologi digital untuk keperluan mereka. Selain itu, sifat dunia maya yang tanpa batas sangat memungkinkan anak terpapar dampak buruk internet bukan hanya dari lingkaran terdekat, sehingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat menjadi sangat penting.
Selain itu, penegakan hukum juga perlu dilakukan, diantaranya untuk menindak konten berunsur pornografi dan kekerasan lain.
Perubahan Perspektif Konvensional Menuju Digital
Kemajuan teknologi telah memudahkan orang melakukan berbagai hal dengan bantuan gawai. Salah satu yang terdekat dengan kita, terutama masyarakat perkotaan, adalah dengan hadirnyaojek daring, belanja daring, dan bahkan bekerja ataupun belajar bisa dilakukan secara daring. Hal-hal tersebut memang dapat dipelajari secara mudah oleh banyak orang dewasa.
Masyarakat di wilayah 3T sekalipun, sudah banyak yang menggunakan teknologi digital untuk keperluan mereka. Seharusnya mengubah perspektif pengasuhan dari luring menjadi daring juga mulai dibiasakan.
Banyak orang dewasa mengeluhkan anak-anak yang sudah tidak dapat dipantau lagi penggunaan perangkat digitalnya. Orang tua seringkali lupa bahwa merekalah yang memfasilitasi anak dengan perangkat tersebut. Bahkan tidak jarang kita lihat anak-anak yang belum seharusnya mengakses gawai, dibiarkan berselancar sendirian tanpa dampingan orangtua. Maka sudah seharusnya ketika menemui masalah yang datang dari ranah digital, orang tua juga hadir untuk menyelesaikannya.
Di berbagai wilayah seringkali kehadiran gawai, internet dan media sosial disalahkan untuk berbagai hal. Perkawinan anak, kekerasan anak, putus sekolah,dan sebagainya, salah satu faktor yang selalu disebutkan adalah kehadiran dan dampak buruk internet pada anak.
Advertisement
Dunia Digital, Bahaya Bisa Muncul Lewat Ujung Jari
Jika dahulu bahaya dapat mengancam anak ketika mereka berada di luar rumah, maka sekarang bahaya bahkan sudah dihadapi anak di ujung jari mereka. Tak terhitung anak yang mengalami trauma atau depresi karena perundungan yang dilakukan melalui jari pengguna internet lainnya.
Bahkan dalam skala ekstrem, bisa mendorong adanya kecanduan terhadap penggunaan gawai pada anak. Banyak anak memiliki kompetensi digital yang tinggi dalam penggunaan teknologi, namun kompetensi kritis untuk memahami risiko sering kali rendah. Ini membuat pentingnya orang dewasa dan lingkungan di sekitar anak menanamkan pemikiran kritis pada anak dalam penggunaan gawai.
Adalah tugas orang dewasa di sekitar anak untuk memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari dampak buruk dunia digital. Pengasuhan anak di era digital sudah tidak dapat kita hindarkan lagi.
Setiap orang dewasa harus memahami bagaimana pola anak berselancar di dalamnya. Orang dewasa harus terus mendampingi anak-anak di sekitar mereka dan memastikan bahwa merekatidak terpapar hal-hal negatif dari dunia digital.
Untuk memastikan orang dewasa memahami hal-hal tersebut, maka tugas Pemerintah, PSE, lembaga pendidikan, LSM secara bersama-sama untuk meningkatkan kapasitas orang tua dalam mengasuh dan melindungi anak di dunia digital. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama juga perlu membincangkan tentang pengasuhan di era digital ini di ruang-ruang yang mungkin lebih didengarkan oleh orang dewasa ini. Ruang-ruang formal dan informal, termasuk dunia pendidikan, harus terus digunakan untuk kolaborasi dalam upaya perlindungan anak.
Perkembangan dunia teknologi dan digital tidak dapat kita hentikan. Berbagai manfaat kita dapatkan dari perkembangan tersebut, namun demikian juga dampak negatifnya. Karena mustahil untuk mundur dan kembali ke masa nondigital, maka kitalah yang harus menyesuaikan diri.
Caranya dengan menambah pengetahuan dan keterampilan digital, meningkatkan kemampuan pengasuhan dan pastikan anak-anak berada di jarak yang cukup dekat untuk terus kita rangkul dan lindungi.