KEMBAR78
Kiprah Ulama Perempuan Betawi Tempo Dulu - Regional Liputan6.com
Sukses

Kiprah Ulama Perempuan Betawi Tempo Dulu

Informasi terkait riwayat dan kiprah ulama perempuan di Betawi tempo dulu masih sangat sedikit.

Diterbitkan 16 Juni 2025, 18:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Ulama-ulama di Betawi tempo dulu tak hanya diisi oleh ulama laki-laki, melainkan juga perempuan. Meski kiprahnya tak sepopuler ulama laki-laki, tetapi para ulama perempuan ini memiliki peran yang tak kalah penting.

Informasi terkait riwayat dan kiprah ulama perempuan di Betawi tempo dulu masih sangat sedikit. Namun, terdapat tiga nama yang cukup eksis saat itu, yakni Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah, Dr. Hj. Tutty Alawiyah, dan Dr. Hj. Siti Suryani Taher. Mengutip dari laman Seni & Budaya Betawi, berikut kiprah tiga ulama perempuan Betawi tersebut:

1. Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah

Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah merupakan anak pertama dari H. Hasanuddin dan Hj. Hindun. Lahir sekitar 1941 atau 1942, sejak kecil ia selalu mengaji kitab kuning kepada seorang ulama Betawi di Cipinang Kebembem, KH. Abdul Hadi.

Ia mempelajari ilmu nahwu shorof, akidah, akhlak, dan fikih. Selain mengaji, ia juga mengajar di 22 majelis taklim ibu-ibu setiap bulan yang tersebar di sekitar Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak, Kampung Sumur, Rawa Badung, Kampung Jati, Cipinang, dan Pulo Kambing.

Ia juga menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Suaminya memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah. Dalam masa pembangunan, ia membantu suaminya mencari dana dengan cara menulis sebuah risalah berbahasa Arab Melayu berjudul Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Shalat Idain.

Risalah ini dicetak dan diperbanyak untuk dijual kepada murid-murid maupun jemaah suaminya. Keuntungan penjualan risalah kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren putri tersebut.

 

Promosi 1
2 dari 3 halaman

Tutty Alawiyah

2. Dr. Hj. Tutty Alawiyah

Dr. Hj. Tutty Alawiyah Abdullah Syafi’ie lahir di Jakarta pada 30 Maret 1942. Ia merupakan putri dari pendiri pemimpin Lembaga Pendidikan Islam As-Syafi’iyah, KH. Abdullah Syafi`ie.

Sejak kecil, ia sudah memiliki bakat dakwah karena kerap mendengarkan ayahnya mengajar ngaji. Saat usianya masih 9 tahun, ia diundang ke Istana Negara untuk membaca Al-Qur’an di hadapan Presiden Soekarno.

Saat tamat SD pada 1954, ayahnya menganjurkannya masuk Madrasah Tsanawiyah. Selain memiliki bakat dakwah, ia juga memiliki bakat seni. Namun, bakat ini tak diekspresikan karena takut pada sang ayah yang cukup ketat dalam mengajarkan pendidikan agama.

Meksi demikian, jiwa seni masih ada dalam dirinya, Melalui Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang dipimpinnya, ia menggubah lagu kasidah. Ia juga mengatur tarian kolosal (tari konfigurasi) dengan berbagai macam bentuk, membentuk logo BKMT, lafaz Allah, hingga AI-Qur’an.

BKMT pun menjadi salah satu terobosannya dalam mengembangkan dakwah di kalangan kaum ibu. Selain dakwah secara lisan dan pendidikan, BKMT juga melakukan aksi dakwah secara nyata melalui santunan anak yatim, santunan korban bencana, beasiswa, dan lainnya. 

Pada 1998 hingga 1999, ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pada 2016, ia wafat dalam usia 74 tahun.

 

3 dari 3 halaman

Siti Suryani Taher

3. Dr. Hj. Siti Suryani Taher

Dr. Hj. Siti Suryani Taher lahir di Jakarta pada 1 Januari 1940. Ia merupakan putri dari pasangan KH. M. Thohir dan Hj. Salbiyah, pendiri sekaligus pemilik perguruan Islam yang bernaung di bawah Yayasan Addiniyah Attahiriyah.

Ia menempuh pendidikan formal dalam lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sejak usia tujuh tahun, ia bersekolah di madrasah asuhan KH. Abdullah Syafi’ie.

Pada 1953, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tsanawiyah Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat. Setelah tamat, ia menempuh pendidikan selama satu tahun di Madrasah Mualimat, Tanah Tinggi, Jakarta.

Ia kemudian melanjutkan pendidikan selama delapan tahun di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Saat kembali dari luar negeri, ia mendirikan Majelis Taklim Kaum Ibu Attahiriyah (MTKIA). Ia rutin mengadakan pengajian di Musala At-Taqwa setiap Sabtu pagi.

Karena jumlah jemaahnya semakin banyak, akhirnya dibangunlah Masjid Jami Attaqwa pada 1968. MTKIA kemudian berkembang menjadi Kursus Bahasa Arab dan Agama (KURBA), yang kemudian banyak melahirkan mubaligh intelektual.

Penulis: Resla

EnamPlus