KEMBAR78
Perjalanan Lenong Betawi Menjadi Ikon Budaya - Regional Liputan6.com
Sukses

Perjalanan Lenong Betawi Menjadi Ikon Budaya

Asal-usul dan perjalanan sejarah Lenong tidak terlepas dari pengaruh berbagai bentuk kesenian yang masuk ke wilayah Batavia pada akhir abad ke-19

Diterbitkan 17 Juli 2025, 17:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Dalam denyut nadi kebudayaan masyarakat Betawi yang kaya akan tradisi, musik, dan gaya hidup khas Jakarta tempo dulu, keberadaan Lenong Betawi menjadi salah satu tonggak penting yang tidak hanya merepresentasikan identitas budaya lokal, tetapi juga menjadi ruang berekspresi yang sarat dengan nilai moral, sindiran sosial, serta hiburan jenaka yang merakyat.

Lenong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan teater tradisional yang memadukan komedi, dialog bernas dalam bahasa Betawi, lantunan musik Gambang Kromong, hingga tarian dan improvisasi aktor yang spontan dan mengundang gelak tawa.

Dibalut dengan irama musik yang menggugah dan dialog yang kerap menyentil kehidupan sehari-hari maupun kisah para bangsawan di masa lampau, Lenong tidak hanya menjadi hiburan semata, melainkan juga cerminan nilai-nilai kehidupan, sindiran sosial, serta alat penyampaian pesan moral yang efektif bagi masyarakat Betawi secara turun-temurun.

Asal-usul dan perjalanan sejarah Lenong tidak terlepas dari pengaruh berbagai bentuk kesenian yang masuk ke wilayah Batavia pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai bentuk pertunjukan yang tumbuh di tengah masyarakat urban yang majemuk, Lenong menyerap unsur-unsur dari komedi bangsawan, teater stambul, bahkan pertunjukan jalanan dari kalangan Tionghoa.

Salah satu cerita menarik yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa istilah Lenong berasal dari nama seorang saudagar Tionghoa bernama Lien Ong, yang gemar menggelar pertunjukan hiburan rakyat di kampung-kampung.

Dari sinilah, pertunjukan yang awalnya bersifat mengamen dari satu kampung ke kampung lainnya, secara perlahan tumbuh menjadi pertunjukan panggung yang lebih terstruktur, baik dari segi cerita, kostum, hingga tata panggung.

Perkembangan teknologi dan media turut membantu penyebaran kesenian ini, terutama ketika Lenong mulai ditampilkan melalui layar televisi pada era 1970-an, menjadikan wajah-wajah pemain Lenong seperti Bokir, H. Tile, Mpok Nori, dan lain-lain sebagai ikon budaya populer Betawi.

Ciri khas utama Lenong terletak pada keberaniannya mengangkat isu-isu sosial yang relevan dengan kehidupan masyarakat, lalu membungkusnya dalam kemasan cerita yang lucu, satir, dan sarat makna.

Promosi 1
2 dari 2 halaman

Melayu Betawi

Bahasa yang digunakan adalah dialek Melayu Betawi yang khas, kadang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luar Betawi.

Musik pengiringnya adalah Gambang Kromong, sebuah ensambel musik khas Betawi yang kaya akan alat musik tradisional seperti gambang, kromong, gong, kendang, kecrek, serta alat musik berdawai Tionghoa seperti tehyan, kongahyan, dan sukong.

Musik ini bukan hanya sekadar pengiring, tapi juga menjadi jiwa dari pertunjukan, yang memberikan ritme, suasana, dan isyarat perubahan babak atau emosi dalam cerita. Alunan musik yang rancak seringkali menjadi daya tarik tersendiri, membuat pertunjukan lenong hidup dan penuh semangat.

Dalam hal isi dan bentuk, Lenong memiliki dua jenis utama yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes biasanya menampilkan cerita berlatar belakang kerajaan atau kehidupan kaum bangsawan.

Bahasa yang digunakan pun lebih halus dan formal, dengan busana yang menggambarkan kemegahan era kerajaan. Tema cerita dalam Lenong Denes sering mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keadilan, dan kesetiaan.

Sebaliknya, Lenong Preman menyoroti kehidupan masyarakat sehari-hari seperti pedagang, petani, penjahit, hingga tukang becak. Bahasa yang digunakan lebih santai dan kasual, bahkan kerap disisipi humor kasar yang justru menjadi daya tarik karena terasa begitu dekat dengan realitas penonton.

Dalam Lenong Preman inilah sering ditemukan sindiran tajam terhadap pejabat, tukang tipu, atau tokoh-tokoh yang rakus dan suka menindas. Meski disampaikan dengan gaya guyonan, pesan moral yang dibawa tetap kuat dan membekas di hati penonton.

Teknis pementasan Lenong pun mengalami perkembangan seiring waktu. Jika pada masa lalu pertunjukan bisa berlangsung semalam suntuk, kini pertunjukan yang direvitalisasi biasanya berdurasi dua hingga tiga jam agar lebih sesuai dengan kebiasaan penonton modern.

Proses kreatifnya melibatkan penulis naskah dan sutradara, yang kadang juga merangkap sebagai pimpinan kelompok teater Lenong. Mereka bertugas menyusun alur cerita, memilih tema yang aktual, membagi peran, dan mengarahkan para aktor agar bisa menyampaikan cerita dengan ritme yang dinamis.

Meski demikian, improvisasi tetap menjadi bagian penting dalam pementasan, karena karakter aktor Lenong sering dituntut untuk cepat menanggapi reaksi penonton, menciptakan momen-momen spontan yang segar dan autentik.

Lenong Betawi bukan sekadar pertunjukan teater rakyat, melainkan warisan budaya yang menyuarakan suara-suara kecil dalam masyarakat dengan cara yang ringan namun mengena. Di tengah arus modernisasi dan tantangan digitalisasi yang makin deras, pelestarian Lenong menjadi tanggung jawab bersama agar kesenian ini tidak hilang ditelan zaman.

Upaya revitalisasi melalui festival, pelatihan seni untuk generasi muda, hingga penayangan ulang melalui platform digital menjadi kunci penting agar Lenong tetap hidup dan relevan. Karena sejatinya, Lenong adalah cermin kehidupan masyarakat Betawi yang penuh warna, tawa, perjuangan, dan cinta pada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang merakyat dan menghibur.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Produksi Liputan6.com