Liputan6.com, Jakarta Akar harapan desa. Di sebuah ruang berpendingin di Hotel Harris Kota Pontianak Kalimantan Barat, derap langkah puluhan orang terasa seperti denyut baru bagi ekonomi desa.
Mereka bukan pejabat tinggi, bukan pula pengusaha besar. Mereka hanyalah para pendamping koperasi, orang-orang disiapkan menjadi obor kecil bagi gelapnya ekonomi akar rumput di Kalimantan Barat.
Sekretaris Daerah Kalimantan Barat, Harisson, membuka kegiatan pelatihan dengan nada penuh semangat tapi juga kesadaran.
Advertisement
“Tidak semua pengurus koperasi mengerti tentang bisnis, dan pengelolaan usaha. Karena itu, kita melakukan pelatihan terhadap para pendamping koperasi,” kata dia, Senin (20/10/2025).
Di Kalimantan Barat, sudah berdiri 2.143 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Angka tampak gagah di atas kertas, tapi belum semua benar-benar hidup dalam denyut ekonomi warganya.
Sebagian masih tidur panjang, sebagiannya lagi berjalan terseok, mencari napas di tengah persaingan pasar dan kurangnya kapasitas pengurus.
Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih atau KDKMP ini sebenarnya adalah cermin semangat pemerintah pusat untuk menghidupkan kembali roh gotong royong dalam balutan ekonomi modern. Tapi, tanpa manusia yang paham, semangat itu hanya tinggal jargon di spanduk.
Cahaya dari Ruang Pelatihan
Di ruang pelatihan itu, para peserta tak sekadar mendengar teori. Mereka mencoba memahami bahasa bisnis dalam dialek yang sederhana bagaimana membaca peluang, menghitung modal, mengelola stok dan membangun kepercayaan antaranggota.
Harisson berharap besar pada mereka. Setelah dilatih, mereka akan mendampingi sekaligus memberikan pelatihan kepada Project Management Officer (PMO) atau petugas manajemen koperasi.
Kata pelatihan terdengar biasa, tapi di tangan orang desa, maknanya bisa jadi luar biasa. Di sinilah titik balik bisa dimulai dari orang yang mau belajar, bukan dari angka yang diklaim sukses di laporan.
Plt Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kalimantan Barat, Ayub Barombo, menyebut ada 245 pendamping KDKMP yang siap terjun di 14 kabupaten/kota.
“Harapan kami dengan adanya pelatihan ini, pengurus koperasi dan para pendamping dapat bersinergi. Jangan sampai ada perbedaan pandangan yang justru menghambat jalannya koperasi,” katanya.
Kata sinergi dalam konteks desa sering kali diuji oleh hal-hal sederhana ego, kepercayaan dan ketulusan. Tapi tanpa sinergi, koperasi hanya akan menjadi nama yang dipajang di papan kayu.
Ayub juga menyinggung tentang Sistem Informasi Manajemen Koperasi Desa (Simkopdes) platform digital untuk menghubungkan koperasi dengan pihak-pihak lain.
Sebuah langkah modern yang terdengar keren, tapi tantangannya tetap sama apakah para pengurus di desa siap beradaptasi dengan dunia digital?
Di satu sisi, pemerintah sudah menyiapkan jalan. Tapi di sisi lain, masih banyak yang harus digenggam dan disadarkan, bahwa koperasi bukan sekadar wadah menabung, tapi jantung ekonomi berbasis gotong royong yang harus berdenyut bersama.
Advertisement
Ekonomi Gotong Royong
Koperasi Merah Putih bukan hanya simbol. Ia adalah bentuk paling konkret dari cinta tanah air yang membumi bukan lewat pidato, tapi lewat kerja sama di ladang, di warung, di sawah, dan di meja rapat kecil di balai desa.
Bagi sebagian orang, koperasi memang terdengar jadul. Di tengah gempuran zaman, bagi para petani setia menanam kehidupan, para pengrajin menjaga warisan leluhur, dan para pedagang kecil menjadi nadi ekonomi desa koperasi adalah seutas tali penyelamat.
Ia bagai pelampung terakhir di tengah samudera yang ganas satu-satunya pegangan agar mereka tidak tenggelam ditelan keserakahan para tengkulak dan dihancurkan oleh kesewenangan pasar yang tak kenal ampun.
"Dengan begitu, mata mereka akhirnya terbuka melihat setiap sudut desa dan kelurahan bukan sebagai keterpinggiran, tetapi sebagai ladang subur tempat usaha maju bisa bertumbuh," ucap Harisson, suaranya bergetar membawa doa terpendam.
Kalimat itu mungkin terdengar biasa, tapi ia bagai pelita di kegelapan. Sebuah cita-cita luhur berbisik, bahwa setiap desa berhak untuk mandiri, tak lagi menggantungkan nasib pada belas kasihan orang lain.
Dari program pelatihan ini, para pendamping diharapkan bisa menjadi mata dan telinga bagi desa-desa.
Mereka bukan sekadar fasilitator, tapi jembatan antara cita-cita dan kenyataan. Mereka mengamati, menuliskan, membimbing, hingga terkadang menjadi tempat curhat pengurus yang kelelahan menghadapi urusan administratif.
Ada satu kisah kecil dari salah satu pendamping bernama Ikak. Dia yang datang dari Kabupaten Kapuas Hulu.
“Saya ingin koperasi di kampung saya bisa jadi tempat perempuan menenun mendapatkan modal, biar mereka tak perlu ke kota,” ucapnya penuh harap.
Kata-kata Ikak mungkin tidak tercatat di dokumen resmi, tapi justru di sanalah inti dari program ini hidup manusia yang ingin menolong sesamanya.
Kalimantan Barat kini sedang mencoba menghidupkan kembali semangat koperasi dalam wajah baru. Tapi perjalanan panjang masih menanti.
Tantangan bukan hanya di modal dan manajemen, tapi juga dalam menjaga semangat kolektif di tengah zaman yang serba individualis.
Koperasi Merah Putih adalah simbol. Tapi simbol itu baru berarti ketika desa-desa benar-benar merasakan manfaatnya ketika ibu-ibu bisa memutar modal tanpa riba, ketika pemuda desa bisa membuka warung online dari hasil pelatihan, ketika para petani tak lagi tergantung pada tengkulak.
Digitalisasi lewat Simkopdes bisa menjadi jembatan antara dunia desa dan kota. Tapi tanpa sentuhan manusia yang sabar dan paham konteks lokal, sistem itu hanya akan menjadi aplikasi sunyi di layar laptop pegawai kabupaten.
Harisson dan Ayub mungkin berbicara dalam kerangka kebijakan, tapi di balik itu ada denyut kecil para pendamping yang diam-diam menjadi “guru ekonomi desa”, para pengurus koperasi belajar memahami laporan keuangan, dan warga kembali percaya ekonomi desa bisa tumbuh dari kebersamaan.
Koperasi Merah Putih bukan hanya urusan bisnis, tapi soal kebangsaan. Ia lahir dari semangat gotong royong yang dulu menjadi jantung Indonesia, kini berusaha disambung kembali lewat pelatihan dan digitalisasi.