Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengusulkan subsidi listrik 2026 sebesar Rp 97,37 triliun-Rp 104,97 triliun. Subsidi listrik ini naik dibandingkan 2025 sebesar Rp 87,72 triliun.
Jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan ICP bertahan di USD 80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN.
Advertisement
Namun, yang ia pertanyakan apakah tambahan subsidi listrik sebesar itu akan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan yaitu masyarakat miskin dan rentan atau justru dinikmati kelompok menengah-atas yang memiliki daya beli lebih tinggi.
"Pertanyaan ini bukan sekadar menyoal angka anggaran, melainkan menyoal keadilan distribusi fiskal dan efektivitas kebijakan publik kita," ujar Achmad, di Jakarta, Senin (7/7/2025).
Berdasarkan data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.
"Mengapa bisa demikian? Karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil," ujarnya.
Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA dengan nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.
Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun minimal.
Â
Perlunya Reformasi Subsidi Listrik
Untuk menjawab persoalan ini, menurut dia, Pemerintah perlu meninjau struktur konsumsi listrik masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Susenas (2022) menunjukkan konsumsi listrik rumah tangga miskin (desil 1–2) rata-rata 40–60 kWh per bulan, dengan proporsi belanja listrik mencapai 2–4% dari total konsumsi mereka.
Sementara itu, kelompok menengah (desil 3–7) mengonsumsi 80–150 kWh per bulan, dan kelompok kaya (desil 8–10) mengonsumsi hingga 250–400 kWh per bulan.
Namun proporsi belanja listrik terhadap total pengeluaran justru turun pada kelompok kaya, yakni hanya 1,5–3%, karena total konsumsi mereka sangat besar.
"Artinya, tambahan subsidi listrik Rp105 triliun akan dinikmati lebih besar oleh kelompok menengah-atas, meskipun bagi mereka, manfaat tambahan itu tidak signifikan terhadap kesejahteraan," ujarnya.
Â
Advertisement
Kebijakan Subsidi Listrik Harus Diatur Ulang
Jika pemerintah serius ingin menolong rakyat miskin dan rentan, kebijakan subsidi perlu diarahkan ulang. Subsidi yang besar namun tidak tepat sasaran sama saja dengan menaburkan pupuk mahal ke tanah berbatu: tidak akan menghasilkan panen yang maksimal, hanya pemborosan anggaran.
Dalam konteks fiskal, subsidi yang tidak tepat sasaran adalah pemborosan sumber daya negara, seperti membangun tenda peneduh di taman kota namun menaruhnya di bawah jembatan layang, sehingga tak ada pejalan kaki yang menikmatinya.
Â
Â