Liputan6.com, Gaza - Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin mengkhawatirkan. Sepanjang hari ini, laporan dari lapangan menunjukkan kekacauan di sejumlah titik distribusi bantuan, saat warga Palestina yang menghadapi kerawanan pangan akut berebut mendapatkan makanan.
Pemandangan antrean panjang, kepanikan, dan ketegangan menjadi gambaran keseharian mereka yang hanya berharap mendapatkan sekotak makanan untuk bertahan hidup, dikutip dari laman BBC, Rabu (4/6/2025).
Namun, bukan hanya makanan yang menjadi masalah. Kekurangan air bersih kini juga menjadi krisis harian bagi banyak warga Gaza. Akses terhadap air yang aman untuk dikonsumsi sangat terbatas, diperparah oleh berhentinya operasi pabrik desalinasi dan sumur-sumur air akibat kelangkaan bahan bakar.
Advertisement
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sebanyak 72 persen fasilitas air, sanitasi, dan kebersihan di Gaza kini berada dalam zona militerisasi Israel atau di wilayah yang telah diperintahkan untuk dievakuasi sejak 18 Maret. Kondisi ini secara drastis membatasi kemampuan warga untuk mendapatkan air bersih.
Padahal, PBB menetapkan kebutuhan minimum air bersih bagi setiap orang adalah 7,5 liter per hari—jumlah ini mencakup air untuk minum, memasak, dan kebersihan pribadi. Dari angka tersebut, setidaknya 2,5 liter dibutuhkan hanya untuk menjaga fungsi tubuh tetap berjalan normal.
Namun kenyataannya, akses rata-rata air bersih yang bisa didapatkan oleh warga Gaza per hari berada jauh di bawah angka tersebut. Krisis ini menempatkan mereka dalam situasi yang sangat rentan terhadap penyakit, dehidrasi, dan ancaman kesehatan lainnya, terutama bagi anak-anak, lansia, dan mereka yang sakit.
Di tengah keterbatasan yang makin parah ini, masyarakat internasional terus menyerukan perlindungan terhadap warga sipil dan akses kemanusiaan tanpa hambatan. Namun, selama konflik dan blokade terus berlangsung, kebutuhan dasar seperti air dan makanan masih menjadi barang mewah bagi jutaan warga Gaza.
Tenda-tenda kini memenuhi hampir setiap sudut Kota Gaza, menggantikan bangunan dan permukiman yang hancur jadi puing akibat perang. Ribuan keluarga hidup di bawah terpal dan plastik, terpapar debu, panas, dan bahaya lalu lintas.