Liputan6.com, Jakarta Mantan Ketua KPK Abraham Samad menyambangi Polda Metro Jaya untuk memenuhi panggilan sebagai saksi kasus kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi.
Ketua IM57+ Institute,Lakso Anindito mengatakan, pihaknya bersama LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, dan LBH Muhammadiyah turun langsung untuk menjaga integritas Abraham Samad.
“Kita hari ini bersedia menjadi kuasa hukum dari Pak Abraham samad. Karena kita melihat bahwa Pak Abraham Samad sampai hari ini itu menunjukkan dedikasi untuk tetap melakukan dan bertindak secara berintegritas. Bahkan pasca selesai menjalani pimpinan KPK," ucap dia di Polda Metro Jaya, Rabu (13/8/2025).
Advertisement
Lakso menegaskan, perkara ini bukan hanya soal Abraham Samad, tetapi menyangkut kebebasan berpendapat dan upaya untuk mempertahankan pilar demokrasi.
"Kenapa ini penting? Karena ini bukan hanya soal Pak Abraham Samad saja, tapi ini soal mempertahankan pilar demokrasi, yaitu kebebasan untuk berpendapat di muka umum,mempertahankan demokrasi untuk menjaga media sebagai salah satu pilar penting," ucap dia.
Dia mengatakan, karena pentingnya bagi Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, LBHI Muhammadiyah, M57 untuk terus mengawal proses ini.
"Karena ini bukan hanya soal Pak Abraham Samad, tapi ini soal menjaga dan merawat pilar-pilar demokrasi yang menjadi pembeda dari negara rule of law dengan negara rule by law," tandas dia.
Â
Permintaan Todung Mulya Lubis
Pengacara senior Todung Mulya Lubis mendesak Presiden Prabowo Subianto turun tangan mengawasi penanganan kasus tudingan ijazah palsu presiden ketujuh, Joko Widodo atau Jokowi.
Hal itu disampaikan Todung saat mendampingi Abraham Samad menghadiri pemeriksaan sebagai saksi di Polda Metro Jaya, Rabu (13/8/2025).
Todung mengaku khawatir penegakan hukum di era Prabowo terancam disalahgunakan.
"Saya berharap Presiden Prabowo Subianto mendengar ini dan mulai melihat apakah penegak hukum Indonesia, apakah itu kepolisian, apakah itu kejaksaan, apakah itu pengadilan, bahwa kita berada di ambang bahaya," ucap dia di Polda Metro Jaya, Rabu.
"Di ambang bahaya, negara hukum ini sedang diancam. Dan kita semua akan menjadi korban dari keswenang-wenangan dari aparat pendegak hukum kalau ini tidak dihentikan," sambung dia.
Menurutnya, hukum adalah panglima, tapi tidak boleh dijadikan senjata untuk menyerang orang cerdas dan kritis terhadap kekuasaan.
"Demokrasi membutuhkan kritik. Demokrasi membutuhkan pendapat yang berbeda," ucap dia.
Advertisement
Bentuk Kriminalisasi
Todung menilai kasus Abraham Samad sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Dalam kasus ini, Abraham Samad disangkakan melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan 28 UU ITE. Menurut Todung, pasal-pasal tersebut tidak layak digunakan.
"Saya kira Saudara Abraham Samad melaksanakan tugasnya sebagai warganegara yang baik, mencoba mentransformasikan dan mengkomunikasikan semua informasi untuk mencari kebenaran yang materil, yang substansial," ucap dia.
"Dan itu yang dilakukan. Loh, kenapa dikriminalisasi? Kenapa dipidana? Saya tidak melihat ada malicious intent di situ. Tidak ada niat jahat di situ. Apakah dari wajah Saudara Abraham Samad kelihatan dia punya niat jahat? Tidak kan?," sambung dia.
Lebih lanjut, Dia menjelaskan, pencemaran nama baik seharusnya diselesaikan lewat gugatan perdata, bukan pidana.
"Hanya di negara yang otoriter atau punya tendensi untuk menjadi negara otoriter, pencemaran nama baik, penghinaan itu dikriminalisasi. Saya tidak mengatakan tidak mungkin ada pencemaran atau penghinaan. Mungkin saja, tapi bukan dikriminalisasi. Gugat saja secara perdata. Di negara lain, gugatan perdata itu dimungkinkan untuk pencemaran nama baik atau penghinaan," papar dia.
Menurut dia, kasus ini berpotensi menjadi contoh buruk weaponization of law.
"Nah kalau ini yang dilakukan, negara hukum ini akan hancur. Dan Indonesia ini akan hancur. Tidak boleh ada weaponization of law yang mengkriminalisasi seseorang," ucap dia.