KEMBAR78
Fenomena Siswa Zaman Sekarang Tak Bisa Baca Jam Analog - News Liputan6.com
Sukses

Fenomena Siswa Zaman Sekarang Tak Bisa Baca Jam Analog

Sekarang, anak-anak sudah sangat tergantung pada jam digital, baik di ponsel, tablet, atau smartwatch. Jam analog mulai ditinggalkan.

Diperbarui 20 Agustus 2025, 08:17 WIB
Jadi intinya...
  • Banyak anak dan dewasa kesulitan membaca jam analog karena terbiasa digital.
  • Kesulitan ini menunjukkan rendahnya kemampuan numerasi siswa, berdampak pada skor PISA.
  • Membaca jam analog melatih numerasi, penting untuk kehidupan sehari-hari dan daya saing bangsa.

Liputan6.com, Jakarta- F (15) berdiri canggung saat gurunya menyuruh membaca jam analog di depan kelas. Matanya memandangi jarum panjang dan pendek yang berputar perlahan. Wajahnya memerah. Lalu dia tersenyum kaku.

“Nggak paham, Bu,” katanya lirih.

Cerita itu disampaikan F kepada Liputan6.com, mengenang momen yang membuatnya malu beberapa pekan lalu. F adalah siswa sekolah negeri di Bogor, Jawa Barat.

F tumbuh dalam era digital. Sejak kecil, dia mengenal waktu lewat layar digital, jam tangan modern dan layar ponsel. Semua serba angka. Tak perlu menghitung.

Di rumah, tidak ada jam dinding analog. Orang tua F pun lebih sering mengecek waktu lewat ponsel.

"Bapak ibu bisa baca jam analog sih. Tapi kami semua lebih sering lihat jam dari HP,” katanya.

F sebetulnya pernah diajari membaca jam analog saat SD, tapi pelajaran itu cepat hilang dari ingatan. Dia mengaku tak sendirian. Teman-temannya pun merasakan hal serupa.

“Banyak kok yang nggak bisa. Lihat jarum jam bikin bingung. Ini jarum yang mana? Harus hitung dulu. Kalau jam digital tinggal lihat angka, selesai,” ucapnya.

Promosi 1
2 dari 4 halaman

Lihat Jarum Jam Otak Langsung Kosong

Tak hanya anak sekolah, orang dewasa pun bisa kebingungan membaca jam analog. Fitra (27), seorang karyawan swasta, adalah contohnya. Meski sudah berkeluarga, dia masih kesulitan membaca jam dengan jarum. Yang lucu, suaminya sempat mengira Fitra hanya bercanda.

"Di awal-awal nikah, suami kira saya becanda, padahal saya beneran nggak bisa," kata Fitra sambil tertawa.

Fitra sebenarnya pernah belajar membaca jam analog saat masih duduk di bangku SD. Tapi, sejak kecil dia merasa konsep jarum pendek dan jarum panjang terlalu rumit. Banyaknya angka di satu lingkaran justru membuat pikirannya kosong.

"Lihat jarum sama banyak angka enggak kebaca aja sama otakku. Langsung kosong gitu otak pas baca jam," ujarnya.

Sejak itu, Fitra memilih jalur praktis, jam digital. Dia mengandalkan ponsel atau jam tangan digital untuk melihat waktu. Bagi Fitra, angka yang langsung terpampang jauh lebih nyaman ketimbang menebak-nebak posisi jarum.

"Simple. Langsung kelihatan jam berapa, enggak pakai mikir," katanya.

3 dari 4 halaman

Orang Tua Kaget Anak Tak Bisa Baca Jam Analog

Rina (38), warga Depok, mengeluhkan putranya Dika yang belum bisa membaca jam analog padahal sudah duduk di bangku kelas 8 SMP.

Rina bercerita, suatu hari Dika diminta melihat jam dinding oleh sang ayah. Jam analog biasa, dengan jarum pendek dan panjang. Tapi Dika hanya menatap jam, lalu balik bertanya, “Ini jam berapa, Yah?”

“Saya sempat pikir dia bercanda,” kata Rina. “Ternyata dia serius. Dia nggak bisa baca jam analog.”

Rina mengaku kaget dan bingung. Dulu, belajar membaca jam adalah hal dasar saat SD. Tapi sekarang, anak-anak sudah sangat tergantung pada jam digital, baik di ponsel, tablet, atau smartwatch.

Rina bahkan sempat bertanya kepada guru sekolah Dika, khawatir anaknya satu-satunya yang tertinggal. Rupanya banyak siswa lain juga mengalami hal serupa.

“Mungkin karena semua serba digital, mereka jadi nggak pernah terpapar jam analog,” tambahnya.

Sebagai orang tua, Rina merasa sedih sekaligus tertantang. Dia mulai mengajarkan Dika pelan-pelan.

“Kadang frustrasi juga sih, tapi saya sadar ini bukan salah anak sepenuhnya. Zaman sudah beda, tugas kita orang tua yang harus ikutan menyesuaikan cara mendidik,” tuturnya.

 

4 dari 4 halaman

Kemampuan Numerasi Siswa Sekarang Rendah

Rendahnya kemampuan siswa membaca jam analog sudah disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti. Dia menyebut, kondisi itu terlihat dari skor Programme for International Student Assessment (PISA).

“Saya menengarai, sebagian anak-anak kita itu tidak mampu membaca jam analog. Membaca jam digital itu bisa karena ada angkanya. Tetapi ketika sudah jam analog, ada jarum panjang, ada jarum pendek, tidak semuanya bisa membaca,” Mu'ti saat meluncurkan Gerakan Numerasi Nasional di SDN 04 Meruya, Jakarta Barat, Selasa (19/8/2025).

Dia menegaskan, kemampuan membaca jam analog bukan sekadar mengenal waktu, tetapi juga melatih anak memahami sudut, posisi, hingga keterampilan berhitung dalam kehidupan sehari-hari.

"Padahal dari situ, anak tidak hanya tahu jam berapa, tapi juga bisa memahami sudut-sudut pergerakan jarum jam. Itu juga numerasi,” tambahnya.

Menurutnya, lemahnya kemampuan numerasi berpengaruh langsung pada rendahnya skor PISA Indonesia. Bahkan, masih banyak anak yang terbiasa bergantung pada kalkulator untuk hitungan sederhana.

"Jangan sampai ketika ada pertanyaan 4x4 sama dengan 16, harus pakai kalkulator. Kebiasaan-kebiasaan numerasi sederhana ini harus dibangun kembali,” katanya.

Dia menekankan, pentingnya mengubah pandangan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Matematika harus dipandang sebagai sesuatu yag menyenangkan bagi bagi dunia pendidikan.

"Dulu matematika sering disebut mati-matian, gurunya juga mengajarkan dengan cara yang bikin mumet. Akhirnya jadi momok. Kita harus ubah itu. Matematika harus diajarkan dengan cara yang menyenangkan, joyfull, bahkan lewat cerita dan narasi,” jelasnya.

Selain itu, penggunaan numerasi dalam kehidupan sehari-hari dinilai dapat mengurangi ketergantungan anak-anak menggunakan teknologi secara instan.

"Kebiasaan sederhana seperti membaca peta, menghitung waktu perjalanan, sampai memahami arah kiblat, semuanya bagian dari numerasi yang dekat dengan kehidupan kita,” ujarnya.

Mu'ti berharap, gerakan numerasi dapat membangkitkan semangat anak-anak untuk lebih mencintai matematika sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global.

Produksi Liputan6.com