Liputan6.com, Jakarta - Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) merilis hasil kajian terbaru terkait Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia.
Seperti apa hasilnya? Studi ini menyoroti ketidakseimbangan regulasi antara rokok tembakau konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik yang memicu perubahan perilaku konsumsi masyarakat serta berdampak serius terhadap keberlangsungan industri kretek nasional.
Direktur PPKE FEB UB Prof Candra Fajri Ananda mengatakan, kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia kian tertekan oleh penerapan regulasi yang semakin ketat.
Advertisement
Merujuk data Bea dan Cukai (2023), terjadi penurunan signifikan pada volume produksi rokok, yaitu dari 348,1 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada tahun 2023.
"Penurunan tersebut menggambarkan besarnya tekanan yang dihadapi industri kretek, padahal sektor ini memiliki peran penting tidak hanya sebagai penyokong perekonomian nasional, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya bangsa," kata Prof. Candra Fajri Ananda dalam keterangan resmi di Jakarta Senin (29/09/2025).
Sementara, dari sisi daya beli, hasil kajian PPKE FEB UB menyatakan, perokok legal dan perokok ganda umumnya bersedia membayar harga rokok maksimum pada kisaran Rp2.500–Rp3.499 per batang.
Sebaliknya, perokok ilegal hanya mampu membayar di bawah Rp1.000, atau antara Rp1.000–Rp1.499 per batang.
Lantas, seperti apa perbandingan harga rokok vs ilegal? Simak selengkapnya dalam rangkaian Infografis berikut ini:
Perbandingan Harga Rokok Legal Vs Ilegal
Advertisement