Liputan6.com, Jakarta- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indonesia dilanda La Nina pada akhir 2025. Fenomena ini biasanya mengakibatkan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, angin kencang, dan puting beliung.
"Terdapat sebagian kecil model iklim global yang memprediksi akan datangnya La Nina lemah di akhir tahun 2025," tulis BMKG dalam laporan 'Prediksi Musim Hujan 2025/2026 di Indonesia' melalui situs resminya, dikutip Rabu (8/10/2025).
BMKG mengatakan, prediksi El Nino-Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan kecenderungan ENSO Netral sepanjang tahun 2025. ENSO merupakan fenomena alami yang menggambarkan perubahan suhu permukaan laut dan pola angin di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur.
Advertisement
ENSO sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
BMKG menyebut, kondisi cuaca di Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole) saat ini berada pada fase negatif. Situasi ini bisa menambah curah hujan, dan diperkirakan berlangsung hingga November 2025.
Bahaya dan Manfaat La Nina
La Nina merupakan fenomena anomali iklim global yang diakibatkan oleh suhu permukaan laut di Samudra Pasifik yang mendingin, lebih dingin dibandingkan biasanya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, La Nina dapat meningkatkan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia. Kondisi ini berpotensi memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin kencang, hingga banjir lahar hujan akibat campuran air hujan dengan material vulkanik dari gunung yang baru erupsi.
Meski berpotensi menimbulkan bencana, Dwikorita menyebut La Nina lemah bisa membawa dampak positif jika dimitigasi dengan tepat. Hujan yang melimpah dapat dimanfaatkan untuk ketahanan pangan, air, dan energi.
Dwikorita menjelaskan, La Nina membuka peluang percepatan tanam dan perluasan area tanam padi di lahan sawah irigasi, tadah hujan, maupun ladang.
Selain itu, curah hujan tinggi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas tampungan air di bendungan dan waduk guna mendukung operasional PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) secara maksimal. Masyarakat juga dapat memanen air hujan (rainwater harvesting) untuk menghadapi musim kemarau dan mencegah kekeringan.
Advertisement
Beda La Nina dan El Nino
Selain La Nina, masyarakat Indonesia juga sudah tak asing dengan fenomena El Nino. Namun, tak banyak yang mengetahui perbedaan keduanya.
El Nino dan La Nina adalah dua fenomena alam yang punya pengaruh besar terhadap cuaca global. Keduanya terjadi di Samudra Pasifik, namun membawa dampak yang berlawanan.
El Nino ditandai dengan pemanasan suhu permukaan laut di bagian tengah dan timur Pasifik, sedangkan La Nina terjadi saat suhu laut lebih dingin dari rata-rata.
Kedua peristiwa ini bisa mengubah pola cuaca dunia, mulai dari kekeringan, hujan ekstrem, hingga badai tropis. Mereka biasanya muncul setiap 2–7 tahun dan berlangsung sekitar 9–12 bulan, meski kadang bisa bertahan lebih lama.
Menurut NOAA (Badan Kelautan dan Atmosfer AS), El Nino cenderung terjadi lebih sering daripada La Nina.
Nama “El Nino” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki”, digunakan nelayan sejak 1600-an untuk menyebut air hangat yang muncul mendadak di laut Pasifik.
Sebaliknya, La Nina berarti “gadis kecil” dan sering disebut juga sebagai peristiwa dingin karena membawa efek berkebalikan dari El Niño.
Saat El Nino terjadi, angin pasat melemah dan mendorong air hangat ke arah pantai barat Amerika, sementara upwelling (naiknya air laut dingin dari kedalaman) menurun.
Di sisi lain, La Nina memperkuat angin pasat, mendorong air hangat ke arah Asia dan meningkatkan upwelling di kawasan Amerika, membawa air dingin kaya nutrisi ke permukaan.