Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai, satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan arah baru bagi kebangkitan sektor maritim Indonesia.
Menurutnya, kebijakan maritim di bawah pemerintahan ini bukan sekadar kelanjutan program masa lalu, melainkan transformasi struktural yang menempatkan laut sebagai inti pembangunan nasional.
"Selama satu tahun terakhir, kita melihat tanda-tanda kebangkitan nyata dalam cara negara mengelola lautnya. Pemerintah tidak lagi memandang laut sebatas sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai sistem kehidupan dan peradaban," ujar Pengamat Maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) ini di Jakarta, melalui keterangan tertulis, Selasa (21/10/2025).
Advertisement
Dia mengatakan, arah kebijakan Presiden Prabowo yang terangkum dalam visi Asta Cita menegaskan kembali pentingnya kemandirian ekonomi, pemerataan pembangunan, dan ketahanan nasional berbasis potensi maritim.
"Dalam kerangka itu, laut menjadi medan strategis bagi masa depan bangsa, bukan hanya sumber pangan, melainkan sumber energi, transportasi, dan diplomasi," ucap Marcellus.
"Masa depan Indonesia ada di laut, dan kini kita mulai melihat langkah-langkah konkret menuju visi itu," sambung dia.
Marcellus Hakeng juga menekankan, salah satu capaian penting selama satu tahun ini adalah peningkatan investasi dalam infrastruktur pelabuhan dan penguatan konektivitas antarwilayah.
Pemerintah, kata dia, mempercepat modernisasi pelabuhan strategis, memperluas kawasan industri perikanan, serta mendorong efisiensi logistik maritim.
"Langkah ini sejalan dengan upaya menjadikan laut bukan hanya jalur distribusi, tetapi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pelabuhan sekarang bukan lagi sekadar tempat bongkar muat, tetapi pusat nilai tambah ekonomi yang menggerakkan industri lokal," tutur Marcellus.
Kebijakan yang Dikeluarkan
Marcellus menilai, kebijakan hilirisasi hasil laut dan pengembangan ekonomi biru (blue economy)menjadi dua tonggak utama dalam membangun kemandirian maritim Indonesia.
Program ini, kata dia, menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan, dengan keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan kelestarian ekologi.
"Ekonomi Biru bukan sekadar jargon. Ia adalah paradigma baru yang menuntut perubahan sikap dari eksploitasi menjadi pengelolaan, dari konsumsi menjadi konservasi," terang Marcellus.
Dia menyebut, pemerintah juga mulai memperkenalkan kebijakan transisi menuju low carbon shipping, yakni sistem pelayaran rendah emisi karbon. Inisiatif ini, kata dia, menunjukkan kesadaran baru bahwa pembangunan maritim tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab terhadap perubahan iklim.
"Indonesia sekarang mulai berbicara tentang pelayaran hijau. Ini bukan hal kecil, karena sektor maritim global sedang bergerak ke arah yang sama," kata Marcellus Hekeng.
Meski banyak kemajuan, Marcellus Hakeng mengingatkan masih terdapat sejumlah tantangan yang harus segera diatasi. Salah satunya, kata dia, adalah tumpang tindih regulasi antarinstansi dalam pengelolaan laut dan pesisir.
Â
Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Eddy Hermawan berharap perhatian juga tertuju pada daerah wisata termasuk Bali dan...
Perlu Reformasi Kelembagaan
Marcellus Hekeng menilai perlu ada reformasi kelembagaan yang lebih tegas agar kebijakan maritim tidak berjalan parsial.
"Laut itu lintas sektor dan lintas batas. Maka harus ada satu komando kebijakan yang bisa mengharmoniskan fungsi ekonomi, keamanan, dan ekologi. Kalau tidak, kita akan terus tersandung di masalah birokrasi," ucap dia.
Selain itu, Hekeng juga menyoroti pentingnya digitalisasi data kelautan nasional. Dengan data yang akurat, kata dia, pemerintah dapat mengambil keputusan berbasis sains dan menghindari tumpang tindih kebijakan.
"Kita perlu sistem informasi maritim terpadu, agar setiap langkah pembangunan memiliki pijakan ilmiah dan dapat dievaluasi secara objektif," tambah Hekeng.
Menurutnya, reformasi maritim tidak bisa hanya berorientasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga harus membangun ekosistem manajemen yang efisien. Ia mencontohkan pentingnya rantai pasok dingin (cold chain) yang terintegrasi agar nelayan kecil tidak dirugikan oleh fluktuasi harga.
"Pembangunan pelabuhan tanpa sistem distribusi yang efisien sama saja tidak akan memberi nilai tambah," kata Hakeng seraya menekankan bahwa pembangunan maritim yang berkelanjutan hanya dapat dicapai bila disertai penguatan sumber daya manusia.
"Pemerintah telah memulai langkah penting melalui program regenerasi pelaut dan profesional maritim. Indonesia memerlukan ribuan tenaga ahli baru di bidang bioteknologi laut, manajemen logistik pelabuhan, dan teknologi navigasi. Pemerintah sudah memulai, tapi perlu percepatan," papar Hakeng.
Ia juga mengingatkan agar kebijakan maritim tidak hanya berpihak pada industri besar, tetapi juga menyentuh kehidupan nelayan kecil. Dalam banyak kasus, masyarakat pesisir masih menghadapi ketimpangan akses modal dan teknologi.
"Kalau kita bicara kedaulatan maritim, maka nelayan harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan," tegas Hekeng.
Â
Advertisement
Peran Masyarakat Lokal
Untuk itu, Hekeng mengusulkan model inkubasi ekonomi pesisir yang memungkinkan masyarakat lokal berperan aktif dalam rantai produksi dan distribusi hasil laut.
"Pemberdayaan masyarakat pesisir akan menjadi tolok ukur keberhasilan ekonomi biru di Indonesia," ucap dia.
Hekeng menilai, setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianton terhadap kebijakan luar negeri semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim di kawasan Indo-Pasifik.
Menurut dia, dengan pendekatan diplomasi bebas aktif, Indonesia terus memperluas kerja sama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan Australia dalam bidang keamanan laut, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pertukaran teknologi kelautan.
"Diplomasi maritim Indonesia kini bergerak dari posisi reaktif menjadi proaktif. Kita tidak hanya menjadi penjaga laut sendiri, tetapi juga mitra dalam menjaga stabilitas kawasan," kata Marcellus Hakeng.
Dia menyebut, pendekatan ini sejalan dengan visi poros maritim dunia yang dihidupkan kembali oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Poros maritim bukan ambisi hegemonik, tapi panggilan moral bahwa laut adalah ruang bersama umat manusia yang harus dijaga dengan kebijaksanaan," terang Hekeng.
Lebih lanjut, dia menilai arah kebijakan maritim Indonesia saat ini menunjukkan kedewasaan baru dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Pemerintah dinilainya semakin serius memperluas kawasan konservasi laut dan memperkuat sistem peringatan dini bencana pesisir.
"Kalau kita ingin berbicara tentang masa depan maritim, maka keberlanjutan harus menjadi inti. Dan pemerintahan saat ini tampaknya memahami hal itu dengan baik," ucap Hekeng.
Ia mengapresiasi rencana pemerintah memperluas kawasan konservasi hingga 30 persen dari total wilayah perairan nasional, serta memperkuat riset adaptif di bidang kelautan.
"Kebijakan ini memperlihatkan bahwa kita tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memulihkan keseimbangan antara manusia dan laut," kata Hekeng.
Menutup pandangannya, dia menegaskan bahwa arah pembangunan maritim di bawah Presiden Prabowo Subianto telah berada di jalur yang benar. Namun, konsistensi dan kesinambungan kebijakan menjadi syarat mutlak agar hasilnya benar-benar terasa di masyarakat.
"Pemerintah sudah mengukuhkan fondasi yang kuat. Sekarang tinggal menjaga ritme dan keberlanjutannya. Kalau konsistensi ini dijaga, saya yakin Indonesia akan benar-benar berlayar menuju kejayaan maritimnya," ucap dia.
"Kebangkitan maritim Indonesia bukan hanya soal infrastruktur atau ekspor ikan, tetapi juga pemulihan identitas bangsa. Laut adalah jati diri kita. Kalau kita berhasil mengelolanya dengan bijak, maka kita bukan hanya membangun ekonomi, tetapi juga membangun kembali peradaban Nusantara," jelas Hekeng.