KEMBAR78
Hilirisasi dan Potensi Rempah Nusantara - Opini Liputan6.com
Sukses

Hilirisasi dan Potensi Rempah Nusantara

Hilirisasi rempah bukan sekadar peluang bisnis, tetapi keharusan strategis.

Diperbarui 07 Agustus 2025, 11:54 WIB
Berdasarkan opini dari:
Pamong Budaya Ahli Muda Kementerian Kebudayaan

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kerap dikenal sebagai "ibu rempah dunia" berkat tingginya keragaman hayati yang dimilikinya - lada, cengkeh, pala, kapur barus, kayu manis, kemenyan, cendana, dan lain-lain - yang menyebar dari Aceh sampai Papua. Sayangnya, sebagian besar rempah ini masih diekspor dalam bentuk mentah.

Padahal, produk hilir seperti minyak esensial, ekstrak farmasi, parfum, dan suplemen mampu mendongkrak nilai ekspor berkali lipat. Buktinya, ekspor minyak atsiri Indonesia melonjak menjadi Rp4,2 triliun (US$259,5 juta) di tahun 2024, tertinggi dalam lima tahun terakhir, menjadikan Indonesia eksportir ke-8 dunia. Baru-baru ini juga, Wakil Presiden Gibran Rakabuming menyoroti pentingnya hilirisasi rempah - langkah strategis yang membuka peluang besar bagi ekonomi dan ekspor, sekaligus mengisi ruang yang sejatinya sudah lama menanti perhatian lebih.

Hilirisasi rempah bukan sekadar peluang bisnis, tetapi keharusan strategis. Data BPS dan Kementan mencatat Indonesia memproduksi puluhan ribu ton rempah tiap tahun - lada sekitar 89,3 ribu ton (2022), cengkeh stabil di 109-134 ribu ton (menyumbang 72-73% pasokan dunia), dan pala 40-44 ribu ton per tahun. Sebagian besar masih dijual mentah, membuat Indonesia tetap di posisi bawah rantai nilai global.

Sementara negara pengimpor meraup untung besar dari pengolahan lanjut. Di sinilah pentingnya hilirisasi: membawa nilai tambah, memperkuat daya saing, dan memastikan manfaatnya lebih adil bagi pelaku di dalam negeri.

Promosi 1
2 dari 3 halaman

Potensi Hilirisasi Rempah

Rempah-rempah Nusantara kaya akan senyawa bioaktif yang diburu industri nutrasetikal, farmasi, kosmetik, hingga parfum dunia. Salah satunya resin kemenyan, yang disuling menjadi minyak benzoin beraroma manis vanila - bahan penting sebagai fixative parfum. Benzoin juga dipakai dalam sabun, aromaterapi, dan salep. Di platform Inaexport Kementerian Perdagangan, harga minyak benzoin mencapai US$70,47 per kg, jauh lebih tinggi dibanding resin mentah.

Lada mengandung piperin dan terpenoid bernilai tinggi untuk suplemen dan farmasi. Produk seperti Muntok White Pepper dari Bangka telah menembus pasar gourmet dunia berkat sertifikasi Indikasi Geografis. Namun hilirisasi lada masih terhambat produktivitas rendah, mutu panen fluktuatif, dan infrastruktur lemah.

Cengkeh menjadi penyumbang devisa besar (70-73 % pasokan dunia, ~109.600 ton/tahun). Cengkeh kaya akan eugenol, hingga 90% dalam minyaknya. Industri parfum dan kosmetik memanfaatkan eugenol sebagai aroma hangat dan antiseptik. Harga eugenol sangat tinggi: pasar internasional mencatat sekitar US$20 per kg, jauh melebihi nilai cengkeh kering biasa.

Buah pala mengandung myristisin, senyawa bernilai tinggi dengan potensi farmasi, mulai dari antidepresan hingga terapi saraf. Untuk menghasilkan 1 kg myristisin, dibutuhkan sekitar 400 kg biji pala. Namun, nilai akhirnya sangat tinggi - harga per miligramnya bisa mencapai US$117, menjadikan ekstrak ini jauh lebih bernilai dibandingkan pala mentah.

Minyak cendana (α-santalol) asal Indonesia dikenal luas di industri parfum dunia, juga digunakan dalam lotion hingga lilin aromaterapi premium. Aromanya khas menjadikannya bahan baku favorit di pasar global. Menurut Hermitage Essential Oils, harga minyak cendana murni mencapai sekitar 3.100 Euro per kg, menjadikannya salah satu minyak esensial termahal.

3 dari 3 halaman

Tantangan & Hambatan

Meskipun prospek hilirisasi rempah sangat menjanjikan, jalan menuju sana masih menantang. Di hulu, riset produk turunan rempah terhenti oleh minimnya dana dan fasilitas laboratorium fitokimia. Teknologi ekstraksi modern memerlukan investasi yang tak murah. Sementara itu, para petani rempah kita - yang kebanyakan berskala mikro – seperti berjuang sendiri tanpa pelatihan, modal susah didapat, dan teknologi canggih terasa jauh dari jangkauan. Hasilnya, mereka sering kewalahan menghadapi hama dan mutu panen yang fluktuatif.

Di sisi lain, standar kualitas dan sertifikasi internasional masih belum merata, baru menjangkau sebagian kecil komoditas unggulan, membuat produk olahan sulit bersaing di pasar global. Belum lagi tekanan perubahan iklim dan banyak daerah penghasil rempah tradisional terserang konversi lahan menjadi tambang atau perkebunan kelapa sawit. Tanpa terobosan serius, hilirisasi berisiko macet sebelum berkembang.

Untuk mendorong hilirisasi rempah, dibutuhkan langkah nyata. Pertama, dirikan pusat riset fitokimia di sentra produksi seperti Maluku, Sulawesi, dan NTT, serta perkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset. Hibah riset dan pengembangan produk turunan harus diperluas. Kedua, akses kredit mikro, subsidi, dan KUR bagi koperasi petani perlu didorong. Dukungan modal - mulai dari penyulingan skala UMKM hingga pengemasan - akan memperbesar nilai tambah dan daya saing produk.

Ketiga, perkuat program sertifikasi - mulai dari organik, fair trade, hingga Indikasi Geografis - agar produk rempah Indonesia punya nilai jual lebih tinggi di pasar global. Keempat, kembangkan kawasan industri terpadu di sentra rempah, seperti klaster farmasi pala di Halmahera, nutrasetikal lada di Lampung, atau parfum benzoin di Tapanuli. Klaster ini akan mengintegrasikan rantai nilai dari hulu ke hilir, memudahkan transfer teknologi, dan membuka akses pasar. Kolaborasi antara petani, produsen farmasi, dan investor kosmetik perlu dibangun untuk menghasilkan produk olahan.

Terakhir, hilirisasi rempah bukan sekadar urusan dagang, tetapi bagian dari kedaulatan budaya dan membangun citra Indonesia di mata dunia. Sejak berabad-abad lalu, rempah Nusantara telah menjadi simpul perdagangan, pertukaran budaya, dan jalur diplomasi antarbangsa. Program Jalur Rempah yang sempat menjadi prioritas nasional, dengan festival budaya rempah, pelatihan budidaya unggul, dan promosi produk hilirisasi, merupakan upaya membangkitkan kembali kebanggaan kolektif.

Spirit ini layak dilanjutkan dengan langkah konkret, salah satunya menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah festival rempah dunia - misalnya World of Spice Expo, sekelas World of Coffee 2025, yang dapat mempertemukan pelaku industri, akademisi, dan komunitas budaya. Dipadukan dengan partisipasi aktif di ajang global, misal pameran halal di Dubai, atau expo parfum internasional di Paris. Bukan hanya untuk membuka pasar, tetapi juga menegaskan rempah sebagai duta budaya Indonesia. Sebab rempah bukan sekadar bumbu dapur, melainkan lambang kemandirian, warisan peradaban, dan identitas bangsa yang layak mendapat tempat terhormat di panggung ekonomi dan diplomasi dunia.

 

EnamPlus