Liputan6.com, Jakarta Di tepi gang sempit Kota Pontianak, Kalimantan Barat, aroma tumisan bawang bercampur dengan resah. Para ibu yang biasanya riang menyiapkan sarapan pagi, kini menghela napas panjang di depan tabung hijau mungil sudah kosong sejak malam.
“Gas 3 Kg habis lagi,” gumam seorang ibu, Tutik (38) pedagang nasi kuning kepada Liputan6.com dengan suara lirih, matanya menatap antrean panjang di pangkalan.
Kegundahan lainnya juga dirasakan warga Kota Pontianak lainya bernama Muriah. Perempuan berusia 36 tahun ini bercerita, gas LPG 3 Kg lenyap bak ditelan bumi.
Advertisement
"Sudah 6 gang saya cari, tidak ada nemu," tuturnya yang mengaku berjualan bakwan khas Kota Pontianak keliling gang. "Tidak banyak untung, cukuplah buat jajan anak-anak setiap harinya".
Di balik asap dapur yang tersendat, terselip satu pertanyaan sederhana namun mendesak, seberapa aman sebenarnya stok energi rakyat kecil ini?
Medio awal bulan September 2025, Provinsi Kalimantan Barat seperti baru saja melewati sebuah perayaan massal.
Libur panjang dan tradisi sembahyang kubur membuat meja makan dipenuhi hidangan, rumah-rumah penuh dengan tamu, dan kompor-kompor mungil menyala tanpa henti.
Namun euforia itu menyisakan antrean panjang di pangkalan LPG 3 Kg. Wajah-wajah lelah menghiasi tiap sudut kota dari Kota Pontianak hingga Kabupaten Kubu Raya.
Di balik antrean itu, ada cerita para pedagang bakwan keliling gang, pedagang nasi kuning, penjual bakso keliling, hingga warung kopi sederhana. Mereka hidup dari api kecil di bawah wajan, dan setiap jeda distribusi adalah ancaman langsung pada dapur ekonomi keluarga. Ketika gas hilang, nafkah pun terguncang.
Dalam situasi yang nyaris memanas, Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan bersuara. Dia menegaskan, keterlambatan distribusi bukan tanda kelangkaan permanen.
“Stok tersedia, masyarakat harap tenang,” ucapnya, menekankan dua penyebab klasik, libur panjang dan meningkatnya konsumsi pasca sembahyang kubur.
Namun ketenangan di podium sering kali tak semudah diterjemahkan di lapangan. Rakyat kecil lebih percaya pada panci dan tabung mereka sendiri.
Bila api tak menyala, maka semua pernyataan hanyalah gema. Di sinilah jurang antara janji pejabat dan realitas warga kian terasa.
Sementara itu, Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan menggelar strategi yang disebut extra dropping penambahan pasokan darurat sebesar 40 metrik ton, setara 40.320 tabung, khusus untuk Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya.
Langkah itu dijalankan secara bertahap, mulai 8 September dan diperbesar lagi pada 12–13 September 2025. Seolah Pertamina ingin menegaskan bahwa dapur rakyat tak akan pernah dibiarkan padam.
“Penyaluran sudah berjalan dan akan terus dioptimalkan,” kata Area Manager Communications, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga, Edi Mangun.
Dilema di Lapangan
Namun, cerita di lapangan sering jauh dari sempurna. Meski Pertamina menegaskan distribusi hanya melalui agen dan pangkalan resmi, kenyataan memperlihatkan bayangan lain pengecer kecil di gang-gang kota dan kabupaten.
Tabung hijau di tangan mereka melambung harganya, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi atau HET.
Edi Mangun mengingatkan keras, membeli di pengecer bukan hanya berisiko harga lebih mahal, tapi juga rawan tidak terjamin ketersediaannya.
Meski begitu, dalam realitas sehari-hari, masyarakat sering kali terjebak, antara menunggu pangkalan resmi yang panjang antreannya atau membeli lebih cepat di pengecer meski mahal.
Pilihannya jelas pahit. Di satu sisi ada regulasi dan anjuran, di sisi lain ada kebutuhan mendesak di dapur. Di tengah kebijakan yang rapi di atas kertas, rakyat harus membuat keputusan paling praktis untuk sekadar menyalakan kompor.
Advertisement
Bayangan Panic Buying
Ada satu ancaman lain yang membayangi, panic buying. Ria Norsan sudah mengimbau agar warga tidak borong tabung, karena justru memperparah situasi.
Tetapi rasa cemas sering kali lebih kuat daripada logika. Satu tetangga membeli tiga tabung, tetangga lain merasa harus melakukan hal sama, lalu efek domino pun lahir.
Fenomena ini mencerminkan kerentanan psikologis masyarakat ketika energi bersubsidi terganggu.
Gas 3 Kg bukan hanya benda hijau tak bernyawa, melainkan simbol stabilitas dapur rakyat. Sekali simbol itu terguncang, kepanikan mudah meledak.
Ambil contoh seorang pedagang bakso keliling di Kota Pontianak bernama Suyudi Ario Seto.
Lelaki asal Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah ini bercerita bagaimana antrean gas membuatnya terlambat berjualan.
“Saya sudah antre dari jam lima pagi, tapi baru dapat jam sembilan. Kalau telat, pelanggan sudah pindah ke tempat lain,” keluh pria berusia 46 tahun ini. Baginya, setiap jam terlambat berarti kehilangan rezeki.
Atau ibu rumah tangga bernama Martinala di Kabupaten Kubu Raya. Ia memilih membeli di pengecer dengan harga Rp35.000 per tabung, padahal harga resmi hanya Rp20.000.
“Mau bagaimana lagi, anak-anak harus tetap makan,” ucapnya mengkau berjualan di warung kopi sederhana pasrah. "10 ribu untungnya tiap hari. Itu tabungan saya bantu suami kerja serabutan".
Di wajahnya tergambar dilema, antara membayar lebih mahal atau membiarkan dapur berhenti.
Kisah-kisah ini adalah lapisan terdalam dari cerita kelam. Mereka mengingatkan bahwa distribusi energi bukan sekadar urusan angka metrik ton, melainkan denyut hidup harian rakyat kecil.
Regulasi Kerapuhan Sistem
Pertamina menegaskan koordinasi dengan pemerintah daerah dan aparat pengawasan terus dijalankan. Tujuannya memastikan distribusi tepat sasaran, sesuai regulasi, dan bebas dari penyimpangan.
Namun celah masih terasa. Sistem distribusi yang bertumpu pada agen resmi memang rapi di atas kertas, tetapi di lapangan ia sering rapuh menghadapi dinamika mendadak libur panjang, perayaan budaya, atau lonjakan musiman.
Rapuhnya sistem distribusi inilah yang sering melahirkan antrean panjang, harga melonjak, dan keresahan massal.
Ia adalah potret klasik bagaimana kebijakan energi bersubsidi selalu berada di persimpangan antara kepastian negara dan kebutuhan rakyat.
Lebih dari sekadar krisis kecil, antrean gas 3 Kg di Kalimantan Barat adalah cermin besar tentang bagaimana negara hadir di dapur rakyat.
Apakah negara (pemerintah dan Pertamina) hanya hadir dengan angka-angka stok, atau benar-benar memastikan wajan di rumah sederhana tetap mengepul?
Setiap tabung gas hijau yang menyala adalah simbol keadilan sosial. Dan setiap antrean panjang yang dibiarkan, adalah pengingat bahwa sistem distribusi masih rentan terguncang.
Advertisement