Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa platform pinjaman daring (Pindar) atau lebih dikenal pinjol tidak pernah melakukan kesepakatan harga di tahun 2018, sebagaimana dugaan yang dilayangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah, mengatakan pihaknya menyampaikan bahwa Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi yang disebut sebagai alat bukti kesepakatan antar platform oleh KPPU juga telah dicabut pada 8 November 2023, sesuai tanggal mulai berlakunya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antar platform di 2018-2023. Pasca ditetapkannya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang berlaku di akhir 2023, kami telah mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi," kata Kuseryansyah dalam konferensi AFPI di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Advertisement
Menurutnya, batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) merupakan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saat itu untuk melindungi konsumen dari predatory lending dan pinjol ilegal yang memasang bunga sangat tinggi. Hal ini juga sudah AFPI sampaikan ke KPPU.
Sebelumnya, studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang mengutip data OJK, menyebutkan sepanjang 2024 jumlah entitas pinjol ilegal mencapai 3.240, atau sekitar 30 kali lipat lebih banyak dibandingkan platform pinjaman daring resmi yang hanya berjumlah 97. Data ini menegaskan masih besarnya tantangan dal melindungi masyarakat dari praktik pinjol ilegal.
“Masifnya penyebaran pinjol ilegal menuntut pelaku usaha berizin untuk menetapkan mekanisme perlindungan konsumen, salah satunya membatasi suku bunga supaya terjangkau dan tidak membebani," ujarnya.
Tidak Ada Indikasi Kesepakatan yang Diduga KPPU
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra, memberikan perspektif hukum mengenai tuduhan kartel yang dilayangkan KPPU kepada pelaku Pindar.
Menurut Ditha, tidak menemukan indikasi kesepakatan harga dalam dugaan yang dilayangkan KPPU. Ia menjelaskan, salah satu tujuan perusahaan-perusahaan membuat perjanjian penetapan harga adalah agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara membuat kesepakatan.
"Skenario yang mereka lakukan, biasanya semua yang harganya rendah mereka naikkan jadi tinggi. Dalam konteks industri Pindar, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pindar?” ujar Ditha.
Advertisement
Tak Bisa Disebut Kartel
Lebih lanjut, Ditha menambahkan, dugaan yang dituduhkan tidak bisa disebut kartel. Pasal yang dikenakan kepada para platform Pindar adalah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengenai kesepakatan harga atau price fixing.
"Di sini terjadi mispersepsi jika kita mengatakan kartel, seolah-olah pelaku melakukan pelanggaran Pasal 11, padahal yangdituduhkan Pasal 5. Undang-undang kita memberikan pengaturan yang berbeda untuk dua pasal tersebut," ujarnya.
Disisi lain, Ditha menilai sidang dugaan praktik kartel di industri fintech yang tengah berlangsung di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa berpotensi menghambat masuknya investor asing.