Liputan6.com, Jakarta - Emas mencatatkan kinerja luar biasa pada 2025. Namun, sayang harga emas yang terus cetak rekor menjadi pertanda kurang baik bagi kondisi ekonomi dunia.
Pekan ini, harga emas menembus level USD 4.000 per ons, dan sebagian pelaku pasar di Wall Street memperkirakan reli ini baru akan dimulai.
Dikutip dari CNN, Kamis (9/10/2025), umumnya investor berbondong-bondong membeli emas bukan pada saat situasi sedang baik, tetapi saat mereka merasa ekonomi dunia sedang memanas.
Advertisement
Selama ini, emas dikenal sebagai tempat berlindung (safe haven) utama di tengah tekanan ekonomi dan kekhawatiran terhadap inflasi.
Kenaikan harga emas pada 2025 ini tergolong bersejarah karena terjadi dengan skala yang belum pernah ada sebelumnya.
Lonjakan ini bahkan melampaui peningkatan harga yang terjadi setelah peristiwa besar seperti serangan 11 September, krisis keuangan 2008, dan masa pandemi.
Menurut data FactSet, harga emas telah naik sekitar 54% sepanjang tahun ini dan berpeluang mencatat rekor terbaiknya sejak 1979. Saat itu, Amerika Serikat tengah bergulat dengan inflasi dua digit dan krisis energi besar-besaran.
Emas dan Saham Sama-Sama Menguat
Yang menarik, lonjakan harga emas kali ini terjadi bersamaan dengan menguatnya pasar saham. Hal ini didorong oleh potensi besar dari kecerdasan buatan (AI). Sehingga, para investor membanjiri saham-saham raksasa teknologi dan kondisi pasar terdorong secara keseluruhan naik ke level lebih tinggi.
"Pasar saham dan emas saat ini bergerak mengikuti dua irama yang sangat berbeda,” ujar salah satu pendiri perusahaan investasi Cumberland Advisors, David Kotok.
Kenaikan harga emas mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi ekonomi global dan kekhawatiran berkelanjutan terhadap inflasi. Inflasi masih bertahan di atas target 2% dari Federal Reserve selama empat setengah tahun terakhir.
Amerika Serikat juga telah menaikkan tarif impor ke level tertinggi sejak masa ‘The Great Depression’, sementara perdana menteri baru Jepang mendukung suku bunga rendah dan peningkatan pinjaman.
Advertisement
Lonjakan Permintaan Global
Sepanjang bulan ini, harga emas telah melonjak sekitar 5%. Hal ini seiring dengan penutupan sementara pemerintahan AS (government shutdown) yang membuat investor dan pejabat The Federal Reserve (the Fed) kehilangan pandangan jelas tentang kondisi ekonomi akibat tertundanya rilis data penting.
Dalam situasi seperti ini, para investor beralih ke aset yang tidak terikat pada satu negara pun, yakni emas.
"Ketahanan global belum benar-benar diuji," ujar Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dalam pidatonya pada Rabu.
"Ada tanda-tanda mengkhawatirkan bahwa ujian itu mungkin akan datang. Lihat saja lonjakan permintaan global terhadap emas."
Salah satu faktor utama yang mendorong reli harga emas adalah melemahnya dolar AS, yang tahun ini mencatatkan kinerja terburuknya dalam beberapa dekade. Pelemahan dolar membuat banyak investor mulai mempertanyakan status mata uang itu sebagai aset lindung nilai utama dunia.
Bank Sentral Beli Emas
Bank sentral di berbagai negara juga ikut menambah cadangan emasnya. Tren ini menguat setelah Amerika Serikat dan sekutunya membekukan aset Rusia di AS sebagai sanksi atas invasi ke Ukraina.
Langkah tersebut menimbulkan keraguan baru di kalangan pejabat luar negeri terkait tempat terbaik untuk menyimpan cadangan aset negaranya.
Menurut laporan Goldman Sachs kepada kliennya pekan ini, harga emas diperkirakan bisa mencapai USD 4.900 per ons pada akhir tahun depan. Bank investasi Wall Street itu menilai kenaikan ini akan didorong oleh pembelian besar dari bank sentral, investor ritel, serta potensi penurunan suku bunga The Fed.
Sementara itu, miliarder sekaligus pendiri perusahaan investasi Hedge Fund Citadeli Ken Griffin, yang sebelumnya mendukung Trump dalam pemilu terakhir, menyebut situasi ini “sangat mengkhawatirkan”. Menurutnya, semakin banyak investor kini memandang emas sebagai pilihan yang lebih aman dibandingkan dolar AS.
"Kita sedang menyaksikan inflasi aset yang cukup besar menjauh dari dolar,” ujar Griffin kepada Bloomberg.
"Karena banyak pihak kini mencari cara untuk perlahan melepaskan ketergantungan pada mata uang tersebut.”
Advertisement