Liputan6.com, Jakarta CIO DBS Bank Wey Fook Hou memperkirakan harga emas bakal melanjutkan tren penguatan. Optimisme itu sudah tertanam sejak 3 tahun lalu, saat pergerakan emas menunjukan grafik berlawanan dengan dolar Amerika Serikat (AS).
"Harga emas seperti kaset rusak, tetapi terus memainkan musik yang sangat indah. Emas sebagai kelas aset telah menjadi bintang tahun ini, naik 50 persen," ujar dia dalam online meeting bersama DBS Bank, Senin (13/10/2025).
Wey Fook Hou lantas memperlihatkan grafik pertumbuhan antara suku bunga bank sentral AS, The Fed dengan harga emas. Sejak 2000, terjalin korelasi bahwa harga emas relatif menguat ketika suku bunga acuan The Fed tengah melandai.
Advertisement
Namun, kekompakan itu pecah pada 2022 kala The Fed konsisten menaikan tingkat suku bunga acuan. Bukannya turun, emas justru terkena penguatan.
"Sejak 2022, korelasi tersebut terputus ketika dolar AS menguat dan suku bunga di AS meningkat. Secara tradisional, Anda akan mengharapkan harga emas juga turun, tetapi ternyata tidak. Malahan, harganya justru menguat," ungkapnya.
"Alasannya adalah, bank-bank sentral telah menumpuk emas, membeli dua kali lebih banyak stok emas daripada dekade-dekade sebelumnya. Dan mereka terus membeli di tahun ini," kata Wey Fook Hou.
Â
Dolar Bakal Kehilangan Status
Oleh karenanya, ia menilai tren tersebut bakal terus berlanjut. Lantaran adanya risiko dedolarisasi, imbas The Fed yang khawatir dolar akan kehilangan status sebagai mata uang cadangan.
"Kenapa mereka takut dengan skenario ini? Karena utang AS yang melonjak berpotensi menyebabkan Federal Reserve kembali menerapkan QE (quantitative easing), yaitu mencetak dolar berlebih untuk membeli obligasi pemerintahnya sendiri," bebernya.
"Jadi, kita memiliki situasi di mana dolar AS, atau bahkan semua mata uang fiat, termasuk yen, dengan apa yang kita sebut pasokan tak terbatas dari pencetakan uang, versus emas dengan pasokannya yang terbatas," urai dia.
Advertisement