Liputan6.com, Landak - Sabtu pagi 28 Juni 2025 mentari tak sekadar menyengat kulit. Ia menghangatkan semangat. Jam menunjukkan pukul 10.10 WIB di hamparan kebun sawit PT Lingkarindah Plantation (LIP), Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Di tengah embusan angin yang membawa harum dedaunan muda, suara-suara antusias membelah hening.
Sebanyak 90 petani sawit mandiri, datang dari dua kabupaten berbeda: Sekadau dan Bengkayang. Bukan untuk panen, bukan pula untuk berunjuk rasa. Mereka datang membawa satu niat, belajar.
Advertisement
Di antara ratusan batang sawit itu, mengalir percakapan teknis yang biasanya hanya diketahui teknisi dan akademisi: tata kelola sarana prasarana, konstruksi jembatan, hingga cara memupuk yang tepat waktu dan dosis.
Marsela Melania, perempuan muda dari Sekadau, matanya berbinar kala menyaksikan petugas PT LIP menjelaskan proses pemupukan di bawah pohon sawit.
Ia bukan petani baru—melainkan generasi ketiga dalam keluarganya yang merawat dua hektare sawit secara mandiri.
“Saya bangga bisa datang langsung. Banyak hal baru. Ini akan saya praktikkan. Pemupukannya teratur sekali di sini,” ucap Marsela.
Baginya, ilmu bukan hanya soal angka dan teori. Tapi soal kelangsungan hidup keluarga, harga diri, dan masa depan generasi berikutnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Tatung Dewa Trenggiling dari Sambas
Sawit Mandiri di Ujung Asa
Bertani sawit mandiri bukan perkara mudah. Tak seperti perkebunan skala besar, petani swadaya seringkali berjalan tanpa peta.
Tak semua paham soal Good Agricultural Practices (GAP). Tak semua mengerti peran penting drainase dan jembatan kebun.
Maka ketika BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) menggandeng Direktorat Jenderal Perkebunan dan menunjuk Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKP STIPER) sebagai penyelenggara pelatihan lapangan, itu seperti hujan di musim kemarau.
Salah satu peserta, Agnes dari Bengkayang, tampak tak lepas dari buku catatannya. Ia menyimak, menandai, dan bertanya.
“Saya punya 280 pokok sawit. Sudah 180 yang panen. Tapi soal manajemen panen dan perawatan jalan, saya belum paham betul. Di sini baru saya tahu,” ucapnya.
Apa yang mereka terima hari itu bukan teori kosong. Dari wajah para instruktur PT LIP seperti Supadi (Head Of Estate Quality Control), Jonnes Daulay (Group Manager), Dhenny Sembiring (Estate Manager), dan Murajurti (Civil Project Coordinator), terpancar keseriusan yang dalam.
Mereka tak sekadar berdiri memberi presentasi. Mereka berjalan bersama petani, menunjukkan jalur irigasi, memperlihatkan proses pengelolaan limbah, menjelaskan bentuk jembatan yang aman dilintasi truk sawit.
“Ini bukan soal citra. Tapi tanggung jawab moral kami,” kata Head Of Estate Quality Control PT LIP, Supadi.
“Kami ingin masyarakat tahu: sawit bisa dikelola dengan benar. Dan bisa menyejahterakan,” tambah Group Manager PT LIP, Jonnes Daulay.
Advertisement
Jalan, Jembatan dan Ilmu Mengalir
Sesi pelatihan tak berhenti di area panen. Mereka diajak menyusuri infrastruktur kebun jalan tanah yang padat, jembatan kayu yang kokoh, dan sistem drainase yang bersih.
Di sinilah peran Murajurti penting. Sebagai Civil Project Coordinator PT LIP, ia menjelaskan bahwa jalan kebun bukan hanya akses, tapi nadi logistik.
“Kalau jalan rusak, panen terganggu. Kalau jembatan tidak kuat, truk tidak bisa masuk. Semua terhubung,” ucapnya menjelaskan.
Momen itu menjadi titik balik bagi banyak peserta. Tak sedikit yang menyadari selama ini produktivitas kebun mereka terhambat bukan karena pupuk atau bibit—tapi infrastruktur pendukung yang abai.
Pelatihan ini tak berhenti di lapangan. Ada tindak lanjut. Supadi dan tim PT LIP menjanjikan pembinaan terbuka, konsultasi berkelanjutan, dan kemungkinan kerja sama jika kebun mandiri sudah menunjukkan konsistensi.
Kehadiran mereka bukan sekadar formalitas. Langkah mantap Esidorus, Kepala Bidang Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Bengkayang, bersama Harsono dari Penyuluh Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kabupaten Sekadau, mengiringi rombongan dengan kesan mendalam.
Di sini, pemerintah tak hanya hadir. Mereka menyatu dengan denyut nadi kegiatan, menjadi penopang sekaligus penjamin bahwa setiap upaya tak berjalan sendiri.
Ini lebih dari sekadar pendampingan. Ini adalah janji yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
AKP STIPER sendiri, sebagai penyelenggara pelatihan, menegaskan pelatihan ini bukanlah tour belajar biasa.
“Kami lihat semangat peserta sangat besar. Mereka ingin maju. Pemerintah daerah pun mendukung. Ini investasi sosial jangka panjang,” kata Direktur AKP STIPER, Sri Gunawan.
Ia mengingatkan, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada perusahaan besar. Sawit rakyat harus tumbuh. Dan itu hanya mungkin jika dibekali ilmu yang tepat.
“Kami ingin petani tahu bahwa sawit bukan kutukan. Sawit bisa menjadi berkah kalau dikelola benar,” ucapnya mengingatkan.
Pulang dengan Harapan Baru
Matahari mulai condong ke barat. Satu demi satu peserta kembali ke kendaraan. Tapi kali ini mereka pulang dengan bawaan tak terlihat pengetahuan, semangat, dan rasa percaya diri.
Di tengah kebun yang tadinya sepi, terdengar tawa riang dan suara kamera. Foto bersama menjadi penutup manis. Senyum terukir. Mereka semringah, bukan karena jalan-jalan, tapi karena merasa dihargai sebagai subjek penting dalam rantai industri sawit nasional.
Petani sawit mandiri, selama ini sering dianggap kelas dua, kini diberi tempat, diberi ruang belajar, dan yang terpenting—diberi harapan.
Menyemai Masa Depan Sawit Mandiri
PT LIP Landak bukan hanya menanam sawit. Hari itu, mereka menanam sesuatu yang lebih langka: empati dan kemauan untuk berbagi.
Dalam dunia industri yang sering dianggap hanya mengejar laba, momen ini jadi pengingat bahwa pertanian berkelanjutan tak mungkin terwujud tanpa melibatkan rakyat.
Bagi Marsela, Agnes, dan puluhan lainnya, pelatihan ini membuka bab baru dalam perjalanan mereka sebagai pekebun. Dan bagi Indonesia, ini adalah langkah kecil menuju sistem sawit yang lebih inklusif, transparan, dan adil.
Sebab sawit bukan hanya tentang tandan buah segar. Tapi tentang manusia, tanah, dan masa depan bersama.
Advertisement