Liputan6.com, Jakarta - Selama ini osteoporosis dikenal sebagai penyakit yang menyerang orang lanjut usia. Namun, siapa sangka, anak-anak pun bisa mengalaminya. Kondisi ini jarang disadari, padahal dapat berdampak serius pada pertumbuhan dan kualitas hidup anak di masa depan.
Dokter Anak - Ahli Endokrinologi di Brawijaya Hospital Antasari, dr. Frida Soesanti, Sp.A (K), tulang anak tidak hanya tumbuh panjang dan besar, tapi juga bertambah padat seiring waktu.
"Puncak kepadatan tulang justru terjadi di usia 20–30 tahun. Setelah itu, kepadatannya akan menurun secara bertahap," ujarnya.
Advertisement
Karena itu, masa anak dan remaja disebut sebagai 'masa menabung tulang'. Jika pada usia muda anak tidak mendapat cukup kalsium, vitamin D, dan aktivitas fisik, risiko osteoporosis di masa dewasa akan meningkat.
"Kalau saat remaja tabungan tulangnya rendah, saat dewasa tulangnya akan lebih cepat rapuh," lanjut dr. Frida.
Â
Osteoporosis Anak Bukan Sekadar Tulang Rapuh
Osteoporosis pada anak berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa. Salah satu penyebab utamanya bisa berasal dari faktor genetik, misalnya osteogenesis imperfecta (OI), kelainan bawaan yang membuat tulang mudah patah bahkan tanpa benturan keras.
dr. Frida, mengatakan, OI disebabkan karena gen yang mengkode kolagen tulang tidak normal. "Bayangkan tulang seperti bangunan. Kalsiumnya bagus, tapi semennya atau kolagennya kurang. Jadi tulangnya tetap rapuh," katanya.
Dia juga mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah kasus OI semakin meningkat. "Ada pasien yang baru berusia satu tahun sudah mengalami patah tulang berulang. Bahkan ada yang tulangnya patah sejak dalam kandungan," ujarnya.
Selain faktor genetik, osteoporosis pada anak juga bisa disebabkan oleh penyakit kronis seperti leukemia, lupus (SLE), gangguan ginjal, dan gangguan hati. Salah satu penyebab tersering adalah penggunaan obat steroid jangka panjang.
"Steroid memang dibutuhkan untuk pengobatan penyakit tertentu, tapi penggunaannya harus diawasi ketat," ujar dr. Frida.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan RI, penggunaan steroid dalam jangka panjang dapat menghambat pembentukan tulang dan mempercepat pengeroposan.
"Penelitian menunjukkan, dosis kecil steroid saja bisa meningkatkan risiko patah tulang hingga 18 kali lipat. Kalau pada anak, risikonya tentu lebih besar karena tulang mereka masih berkembang,"Â tambahnya.
Advertisement
Gejala Sering Tak Terlihat
Osteoporosis pada anak sering tidak terdeteksi sejak dini karena gejalanya samar. Anak mungkin hanya mengeluh pegal, nyeri punggung, atau terlihat lebih pendek dibandingkan teman seusianya.
Dalam kasus lain, tulang bisa patah meski tanpa jatuh atau benturan keras. "Kalau anak sering patah tulang tanpa penyebab yang jelas, sebaiknya segera diperiksa. Bisa jadi itu tanda osteoporosis," ujar dr. Frida.
Untuk mendeteksi dini, pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) dengan parameter Z-score direkomendasikan pada anak. Pemeriksaan ini mengukur kepadatan mineral tulang dan membandingkannya dengan nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin.
Kabar baiknya, osteoporosis pada anak bisa ditangani bila diketahui sejak dini. Salah satu terapi yang terbukti efektif adalah penggunaan bifosfonat, obat yang dapat memperlambat pengeroposan tulang dan membantu memperkuatnya.
"Beberapa anak yang menjalani terapi bifosfonat menunjukkan perbaikan signifikan," kata dr. Frida.
"Ada pasien dengan SLE yang tadinya tidak bisa duduk karena fraktur tulang belakang. Setelah terapi satu tahun, dia bisa berjalan dan kembali bersekolah," pungkasnya.